23. Rumah-Rumah Yang Tak Lagi Sama

107 15 3
                                    

Rasa bersalah yang tadinya begitu besar, kini bertransformasi menjadi kehampaan. Kehampaan itulah yang kemudian membawa Bakti terus melajukan motornya tanpa tujuan. Ia melewatkan jam pelajaran seusai istirahat kedua, menyelinap keluar dengan memanjat pohon sukun di halaman belakang untuk membantunya melompati pagar. Kemudian mengambil motornya yang sengaja ia parkir di parkiran umum tidak jauh dari sekolah.

Dua jam kemudian Bakti menghentikan motornya di tepi jalan. Mulai menyadari bahwa apa yang ia lakukan barusan tidak membawa dampak baik, tidak pula mengurangi kehampaan yang ia rasa. Berkelana hanya membuatnya menyadari bahwa ia benar-benar sendiri. Tiba-tiba ia merindukan konsep pulang. Ia merindukan datang ke suatu tempat yang menjanjikan kehangatan, penawar dari rasa lelah dan rasa sakit. Tempatnya berlindung dari kerasnya dunia, tempat di mana ia bisa diterima seperti apa pun keadaannya. Dulu, seperti orang-orang kebanyakan, Bakti menganggap rumah adalah tempatnya pulang. Namun kini keadaan telah bergeser begitu jauh.

Rumah kini hanyalah sebuah tempat yang menyimpan kisah-kisah lama. Kisah-kisah yang kemudian terpinggirkan ke sudut-sudut, lama-lama mengabur dan tinggal menyisakan bayang-bayang. Bakti membetulkan letak helm yang membungkus kepalanya, motornya kembali menderu di jalanan beraspal. Ia merindukan pulang, maka ia berusaha mendatangi satu-satunya rumah yang barangkali masih tersisa untuknya.

Jalanan di depan SMA Kartini lengang ketika Bakti tiba di sana. Beberapa kendaraan berseliwiran dengan kecepatan sedang, sebagian berhenti di warung-warung kecil. Barangkali hendak menjemput siswi SMA Kartini dan memilih mengisi waktu menunggu dengan satu atau dua gelas kopi hitam. Bakti sendiri juga tengah menunggu, tapi ia tidak tertarik dengan gagasan akan sepiring tempe gorang hangat yang baru diangkat dari penggorengan dan segelas penuh kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Ia hanya duduk di atas jok motornya yang terparkir sembarangan di depan gerbang, menunggu sambil menghitung degup jantungnya sendiri.

Lalu menyadari betapa ia merindukan momen semacam ini. Saat dirinya dan Bunga masih berseragam putih-biru dan menempuh pendidikan di sekolah yang sama, terbiasa berboncengan baik berangkat maupun pulang dari sekolah. Berbagi lima belas menit berdua dalam perdebatan-perdebatan kecil yang tak pernah jelas siapa pemenangnya. Ia merindukan omelan-omelan panjang Bunga sepanjang perjalanan pulang, yang mengeluhkan kebiasaan Bakti menggoda anak-anak perempuan di gerbang sekolah. Ia juga rindu memarahi Bunga manakala adik perempuannya itu terlambat bangun atau menghabiskan waktu terlalu lama untuk sekedar mencatok rambut hingga membuat Bakti terpaksa menunggu dan hampir terlambat.

Bel pulang terdengar sayup-sayup dari tempat Bakti berada. Tanpa sadar cowok itu terkesiap. Sebagian dirinya ingin berlari saja, menghindar seperti biasa, tetapi sebagian yang lain memaksanya tinggal, menunggu entah apa pun yang akan terjadi. Serombongan siswi berjalan melewati gerbang yang baru dibuka oleh Pak Satpam, disusul dengan gerombolan yang lain. Suara obrolan dan teriakan saling bersahutan, tumpang tindih dengan langkah kaki yang tergesa-gesa. Akan tetapi tetap saja yang terdengar paling jelas di telinga Bakti adalah detak jantungnya sendiri.

Lama Bakti memfokuskan pandangan pada siswi-siswi tersebut, berusaha mengidentifikasi setiap sosok asing yang berseliweran di depan matanya. Hingga seseorang yang ia cari muncul ke dalam ruang pandangnya. Wajah Bunga tampak kemerah-merahan ketika cewek itu melewati gerbang. Penampilannya agak kusut dengan dasi terurai dan ikatan rambut yang mengendur.

Bakti turun dari motornya, ragu-ragu meneriakkan nama Bunga sambil mengacungkan tangan. Beberapa orang memandangnya sekilas, termasuk Bunga, cewek itu tampak terkejut, sebelum kembali melempar tatapannya ke arah jalanan. Seolah yang barusan ia lihat bukanlah kakak kandungnya sendiri.

Bakti menghampiri Bunga tanpa melepas helm. Ia sudah kepalang maju, tidak ada jalan mundur atau memutar.

"Ayo pulang," ajak Bakti.

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang