26. Perang Yang Tak Bisa Ia Menangkan

86 19 0
                                    

Anggit tidak menyerah begitu saja, atau setidaknya belum. Ia masih mengirimkan ratusan pesan kepada Natasha, mencoba menghubungi via telepon yang tak bersambut, menjelaskan seadanya melalui catatan suara, tetapi semua itu berakhir sia-sia saja. Kecuali menangis sepanjang malam, Anggit benar-benar tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

Langit masih kelabu dengan sebentuk bulan sabit yang bertengger malu-malu ketika Anggit membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Ia membiarkan udara dingin masuk untuk mengurangi rasa panas yang ia rasakan. Waktu menunjukkan pukul setengah lima dan Anggit tidak bisa tidur sejak tadi. Bayangan Natasha dan Bakti datang silih berganti tiap ia mencoba memejamkan mata. Lagi-lagi memberikan kehampaan pada satu lubang besar di hatinya. Baik mimpi, kekasih, dan sahabat, Anggit sudah tidak punya ketiga-tiganya.

Lalu Anggit bertanya-tanya sendiri, apa kiranya satu alasan yang menggerakkan dirinya untuk tetap bersiap-siap berangkat ke sekolah pagi ini. Alasan itu ditemuinya di teras depan rumah. Di balik batang-batang mawar dengan bunga yang mulai menguncup. Ia lah Mama. Sosok tegas dengan tangan kaku dan wajah yang kadang kala tampak tak bersahabat, Mama dengan rencana hidupnya yang begitu terperinci, Mama yang kuat karena terbentuk oleh kesulitan-kesulitan hidup.

"Ma, Anggit berangkat dulu," kata Anggit lemah sambil menyalimi tangan Mama.

Mama memindahkan slang air di tangan kanannya ke tangan yang lain. "Kamu belajar sampai jam berapa semalam? Kok matanya sampai sembab begitu."

"Jam satu, Ma," kata Anggit sekenanya sambil berusaha meyakinkan dirinya bahwa mungkin memang lebih baik Mama mengiranya belajar sampai pagi buta. Lebih sederhana begitu, tidak perlu ada yang dijelaskan panjang-lebar. Dan yang terpenting tidak perlu ada pertengkaran.

"Gini, Nggit, kemarin Mama habis telfon wali kelas kamu. Katanya selain beasiswa silang untuk juara kelas, sekolah akan mengadakan kerja sama beasiswa dengan perusahaan alat-alat tulis. Tapi harus tes dulu. Gimana? Nanti kalo peringkat kamu belum membaik, kamu coba itu aja ya?"

Ah iya, Mama juga selalu punya rencana-rencana cadangan apabila rencana utama tidak berjalan dengan baik. Mama selalu memikirkan kemungkinan terburuk dan tak lupa bersiap diri. Anggit menarik napas lelah mendengarnya, bisakah kali ini tidak perlu ada rencana? Bisakah kali ini ia cukup menjalaninya saja? Apapun itu.

"Gimana?" tanya Mama tak sabar.

"Iya, nanti Anggit belajar lagi."

"Kamu harus belajar yang sungguh-sungguh. Mama nggak bisa nabung banyak untuk masa depan kamu, kamu harus berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkan masa depan yang mapan. Pokoknya kamu harus jadi orang sukses, jangan jadi seperti Mama."

Anggit mengiakan perkataan Mama yang mulai tak punya makna karena terlalu sering diucapkan tersebut. Ia pun membawa dirinya ke tempat yang sebetulnya menjadi pilihan paling akhir untuk ia kunjungi hari ini. Sekolah.

Sejak melewati gerbang Anggit sudah dapat merasakan atmosfer yang berbeda. Seperti ia tak sengaja mencoretkan lipstik merah menyala di bibirnya sehingga ia tampak begitu aneh di mata orang lain dan layak ditatap penuh selidik. Atau seperti ia memakai sepasang kaus kaki sisa kehujanan yang bau dan mengganggu semua orang, hingga mereka saling berbisik bahkan sebelum ia berlalu cukup jauh. Anggit menyelesaikan perjalanan menuju ke kelasnya sambil menahan rasa risih juga dengan tanda tanya yang berkecamuk di kepalanya, yang sebetulnya sudah terlalu penuh sejak beberapa hari yang lalu.

Barulah setibanya di kelas, perlahan, Anggit dapat mengurutkan semua yang terjadi. Meski samar, meski di luar nalar dan logikanya. Dimulai dari Nadia yang meninggalkan bangku di samping Anggit tanpa alasan yang cukup jelas. Hingga Fani yang tiba-tiba mendatanginya dengan tangan bersedekap, bertanya dengan nada menyudutkan seolah Anggit adalah pesakitan yang siap dijebloskan ke penjara.

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang