Langit mendung, dampak murungnya seolah menjangkiti semua orang. Perasaan Anggit belum sepenuhnya membaik dan ia ingin menghindari Bakti dengan cara apa pun termasuk berpura-pura sakit supaya diperbolehkan tidak masuk sekolah. Akan tetapi, Anggit tahu benar bahwa mengusahakan beasiswa untuk kelas tiga nanti juga sama artinya dengan sebisa mungkin mengosongkan catatan alpa, jadi ia pun menyeret diri dari tempat tidur kemudian bersiap-siap. Ketika ia keluar kamar sambil menenteng ransel, Mama sedang menyiapkan sarapan dengan wajah yang mengeras. Anggit tahu pasti ada banyak sekali yang kini membebani pikiran mamanya. Setelah mendapat kepastian bahwa beasiswa Anggit untuk kelas dua resmi dicabut, Mama memang harus putar otak supaya kelangsungan hidup mereka beserta rencana-rencana masa depan tidak terganggu.
Anggit menarik bangku di meja makan dengan tidak bersemangat, menyendokkan nasi goreng yang masih mengepulkan asap panas ke piringnya tanpa selera.
"Kata wali kelas kamu, nilai-nilai UTS kamu juga menurun," kata Mama sambil mengaduk adunan bolu. Letak dapur dan meja makan yang tidak jauh membuat suaranya terdengar jelas ke telinga Anggit.
"Kenapa nggak kasih tahu Mama?"
Anggit memfokuskan pandangan pada nasi goreng bertabur sosis di piringnya, yang rasanya masih lebih mudah dihadapi daripada Mama dan sorot matanya. "Aku yakin bisa perbaiki kok, Ma."
"Ada masalah sama belajar kamu?"
Anggit menggigit bibir, diam membisu.
Terdengar suara sendok yang beradu dengan baskom logam dari dapur sebelum suara tegas Mama menyusul. "Mama lihat akhir-akhir ini kamu tidur lebih awal, lebih sering main HP, selalu pulang larut, kamu nggak punya pacar kan?"
"Memangnya kenapa kalau aku punya pacar?" Anggit yang biasanya, seharusnya diam saja, mengiakan setiap perintah maupun larangan Mama, tapi kali ini ia justru balik bertanya dengan nada menantang.
Mama berderap ke meja makan, berdiri di seberang meja dan menantang Anggit adu bola mata. "Jadi kamu memang punya pacar? Nggit, Mama udah bilang berapa kali sama kamu supaya nggak pacaran dulu? Jangan buang-buang waktu untuk hal yang nggak berguna. Kamu nggak lihat perjuangan Mama ngebesarin kamu sendirian?"
"Aku nggak bodoh, Ma. Aku tahu batas, aku bisa mengatur diri, aku nggak mungkin melupakan cita-citaku gitu aja cuma karena aku pacaran."
Mama terhenyak di depannya, seolah tidak menyangka bahwa Anggit mau meneruskan perdebatan. "Nggit, kebanyakan laki-laki itu bisanya cuma manfaatin perempuan. Nanti kalo udah bosan sama kamu juga pasti ditinggalin gitu aja."
"Nggak semua cowok kayak gitu, Ma," tukas Anggit sambil berdiri, melupakan nasi goreng di piringnya yang masih utuh dan berniat pergi.
"Kalo gitu bawa dia ke sini, Mama mau lihat dia orangnya seperti apa sampai kamu jadi berani membantah Mama kayak gini."
Anggit menyandangkan tasnya di bahu. "Nggak perlu, kami udah putus."
Setelah itu Anggit benar-benar berlalu.
_C-o-l-o-u-r-s_
Anggit menyesal telah menyakiti perasaan mamanya, tapi ia tidak menyesal telah mengatakan sesuatu yang sudah sangat lama ingin ia sampaikan. Anggit mengerti bahwa semua ketakutan Mama beralasan, bahwa rasa sakit di masa lalu membayangi Mama kemana pun melangkah dan alangkah besar harapan Mama agar Anggit tidak jatuh ke dalam lubang yang sama. Sejak Anggit kecil, Mama sudah menjaganya dengan perlindungan berlapis. Mama mendaftarkan Anggit ke sekolah yang agamis dan berlingkungan sehat, memberi batas-batas pergaulan yang jelas, mengawasi dari jauh dan mengingatkan di setiap kesempatan.
Akan tetapi yang Anggit paling sesalkan adalah ; Mama melupakan fakta yang paling mendasar, bahwa dirinya dan Anggit adalah dua individu yang berbeda, memiliki sifat yang berlainan dan jalan hidup yang belum tentu sama. Mama memenjarakan Anggit dalam ketakutan masa lalunya, membuat Anggit bertumbuh dalam serba kehati-hatian dan ketakutan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLOURS
Fiksi RemajaTidak banyak yang Anggit harapkan dari masa SMA-nya. Ia hanya ingin bisa mempertahankan beasiswa sampai kelulusan. Sebisa mungkin tidak merepotkan Mama yang bersusah payah membesarkannya seorang diri. Baginya, dunia hitam-putih pun terasa cukup. Me...