5. Sekuntum Bunga di Sebuah Ruang

194 33 3
                                    

Selamat Membaca

Anggit memang tidak seperti yang dikatakan orang-orang, dan Bakti bersyukur karena ia mematahkan semua anggapan itu melauli dirinya sendiri. Seandainya cewek itu mau sedikit membuka diri, Bakti yakin, tidak mustahil baginya untuk mendapatkan lebih banyak spot. Akan tetapi, Anggit memang bukan tipe cewek semacam itu.

Setelah memakirkan motornya di garasi, Bakti langsung masuk ke rumah. Lampu taman di depan sudah dinyalakan, begitu pun dengan lampu ruang tamu dan ruang tengah. Hanya kamarnya yang masih gelap, dan kini tampak berwarna jingga oleh cahaya senja yang menerobos masuk melalui kisi-kisi jendela.

Bakti lantas menyalakan lampu, meletakkan tas ranselnya yang ringan karena ia sengaja meninggalkan beberapa buku cetak meski itu berarti ia diharuskan lari keliling lapangan lima kali. Memang dasarnya atlet, Bakti lebih memilih mandi sinar matahari pagi daripada duduk anteng di dalam kelas. Akan tetapi tidak apa-apa, tadi pagi adalah jadwal olahraga kelasnya Natasha, sambil menyelam minum air, itu prinsipnya.

Teringat Natasha jadi membuat Bakti mengeluarkan ponsel dari saku celana. Pesan yang dikirimkannya tadi siang dan belum dibaca kini telah menampakkan tanda centang dua berwarna biru. Tanpa sadar bibir Bakti melengkung. Cowok itu kemudian menarik keluar kursi kayu dari kolong meja belajar. Duduk di sana dengan ujung-ujung jari mengetuk lutut. Harap-harap cemas.

Lalu ketika sebuah balasan yang ditunggunya datang, Bakti menghembuskan napas lega. Singkat, Bakti tidak terkejut. Fakta bahwa Natasha memang cewek yang dipuja banyak lelaki, membuatnya maklum. Pun ia juga sudah menyiapkan diri seandainya harus mundur sewaktu-waktu. Natasha hanya perlu memberi satu kode bahwa dirinya sudah dekat denagn cowok lain, lalu Bakti akan menyingkir dari ruang pandang.

Sebuah pesan kembali nyangkut di ponsel Bakti saat sang pemilik hendak melangkah keluar kamar. Dari Dio--temannya sejak SMP.

Dio : Abis isya' ke tempat lo ya.

Bakti : Yoi. Sendiri apa gimana?

Dio : Sendiri gue mah, cem jomblo.

Bakti : Emang lo jomblo!

Dio : Macem lo kagak.

Bakti : Bacot! Jgn lupa bawa makanan.

Dio : beres. Btw, si Bunga di rumah nggak?

Bakti terdiam sejenak. Ia belum melihat, bahkan tidak mendengar suara Bunga semenjak ia masuk ke rumah 15 menit yang lalu.

Bakti : kagak ada.

Terakhir Dio mengirimkan serentetan emoticon menangis sebelum Bakti memutuskan untuk mengubah ponselnya ke mode silent. Cowok itu kemudian mengambil handuk Barcelona di balik pintu kamarnya, melangkah keluar sambil bersiul-siul menuju kamar mandi. Kalau ada Mama ia pasti sudah dibentak-bentak.

"Biarin biar nanti malem diganggu setan kalau maghrib-maghrib bukannya shalat malah siul-siul begitu!"

Iya, kalau ada Mama.

_C-o-l-o-u-r-s_

"Adek lo tambah jutek aja makin hari, untung cantiknya juga nambah." Dio masuk ke kamar Bakti sambil mendekap bungkusan Chitos dan dua kaleng soda yang baru diambilnya dari kulkas di dapur. Baik Bakti maupun Dio sudah terbiasa menganggap rumah satu sama lain seperti rumah sendiri.

Bakti mengalihkan pandangan dari televisi layar datar yang tengah menampilkan balapan Moto-GP kepada Dio sejenak.

"Pulang sama siapa dia?" tanya Bakti, nadanya kaku seperti biasa. Seolah menegaskan bahwa di antara Bunga dan dirinya selalu tersisa jarak.

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang