Sudah lima belas menit semenjak mereka berdua memilih untuk keluar dan duduk di kursi teras, tetapi yang diucapkan Bakti dari tadi hanya permintaan maaf lalu pertanyaan apakah Anggit tidak apa-apa. Semenjak kejadian di ruang tamu tadi, adik Bakti berlari ke kamarnya dan tidak keluar lagi. Sementara Anggit terdiam di samping Bakti dengan seribu satu pikiran yang berkecamuk.
"Justru kamu yang harusnya ditanya seperti itu, apa kamu baik-baik saja?"
Anggit tahu jawabannya tidak. Tidak ada yang baik-baik saja dari sorot mata penuh luka dan rasa putus asa itu. Dari kepala yang sepertinya tidak akan tegak lagi itu, dari kedua tangan yang melunglai di lengan kursi. Anggit menggenggam salah satu tangan Bakti yang dapat dijangkaunya, terasa dingin.
"Jangan ditanggung sendiri, Ti. Kalau kamu nggak siap untuk cerita, nggak apa-apa, asal jangan berpikir kalau kamu harus menghadapinya sendirian," bisik Anggit halus.
Bakti mengambil kotak rokok di meja kayu kecil yang memisahkan kursi mereka, diambilnya satu batang. Ia mengangkatnya sejenak, memberi kode apakah Anggit tidak keberatan.
"It's okay."
Bakti mengisap berulang-ulang, mengembuskan asap rokok ke udara seolah dengan begitu beban yang ada di pundaknya akan turut lenyap ditelan gelap malam. Anggit menunggu dengan sabar. Ia menggunakan jeda yang ada untuk memandang Bakti lebih dalam, menyelami sosoknya, di balik pembuluh nadinya tangannya yang menyembul sepanjang lengan dan memberi kesan kuat, atau bahunya yang lebar di balik kaus biru tua, kali ini Bakti tampak begitu ringkih. Meski tidak tahu bagaimana caranya, Anggit ingin melindungi Bakti dari segala bentuk rasa sakit.
"Namanya Bunga. Dia satu tahun lebih muda dari kita. Dan yang jelas dia benci setengah mati sama aku," kata Bakti mengakhiri kebisuan.
"Aku tahu alasan dia benci sama aku, mungkin aku emang pantes dibenci. Tapi aku nggak bisa terima kalau dia sampai melampiaskan itu semua ke kamu."
Anggit mengeratkan genggamannya. Menegaskan bahwa ia tidak apa-apa.
"Keluargaku udah nggak utuh lagi, Nggit, atau bahkan memang udah hancur. Setahun lalu Mama pergi dari rumah setelah bertengkar hebat sama Papa. Nggak lama kemudian mereka resmi bercerai. Sampai detik ini aku nggak tahu kabar Mama, Papa juga terus berusaha melanjutkan hidupnya seolah nggak terjadi apa-apa. Sementara Bunga memlilih untuk melampiaskan semua rasa sakitnya untuk ngebenci aku."
Anggit diam, mendengarkan setiap getir yang keluar. Tidak pernah terburu-buru menghakimi. Hanya mendengarkan lalu tiba-tiba paham, karena meski berbeda, Anggit pernah merasakan kesakitan yang nyaris serupa.
"Hari di mana Mama pergi, Bunga nangis jejeritan, menahan Mama sebisanya, tapi Mama tetap pergi. Bunga benci sama aku, karena hari itu aku nggak melakukan apa pun seperti yang dia lakukan. Dia bilang, aku turut andil untuk kepergian Mama."
Bakti menghembuskan napas berat untuk kesekian kalinya. "She just didn't know the truth. Dia nggak tahu kenyataan yang aku tahu. Mama sedang mencari kebahagiannya. Mencari cintanya. Sesuatu yang nggak bisa dia dapatkan dari Papa."
Tanpa sadar air mata Anggit sudah mengalir kemana-mana. Anggit berusaha menghapusnya, ia ingin menjadi kuat seperti Bakti.
"Malam hari ketika ngelihat Mama beresin barang-barang, aku tanya dia mau kemana. Dia bilang dia ketemu dengan teman SMA-nya, namanya Frans. Dan singkatnya Mama jatuh cinta sama dia. Mama kayak ketemu sama soulmate-nya, belahan jiwa yang membuat dia rela ninggalin kedua anaknya dan kehidupannya di sini."
Anggit memandang pilu kepada pot-pot bunga di sekeliling teras. Banyak pot yang terisi bunga, tetapi lebih banyak lagi yang tanaman yang dibiarkan layu dan akhirnya mati. Sekarang, Anggit paham alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLOURS
Teen FictionTidak banyak yang Anggit harapkan dari masa SMA-nya. Ia hanya ingin bisa mempertahankan beasiswa sampai kelulusan. Sebisa mungkin tidak merepotkan Mama yang bersusah payah membesarkannya seorang diri. Baginya, dunia hitam-putih pun terasa cukup. Me...