36. Jalan Menuju Dewasa

105 16 0
                                    

Mama lagi di rumah Nenek, kamu ke sini ya nanti pulang sekolah. Ajakin temen yang nganter kamu pulang kemarin kalau mau.

Anggit terhenyak di gazebo sedetik setelah membaca chatt whatsApp dari Mama. Ia terdiam lama menekuri layar ponsel yang telah kembali ke halaman utama. Tidak tahu tepatnya apa yang ia rasakan. Apakah takut, marah, bingung, atau yang lainnya.

"Kenapa sih suka nunduk-nunduk?" Suara berat dan sepasang sepatu converse yang masuk ke ruang pandangnya menginformisi kedatangan Bakti. Anggit mengangkat wajah dan langsung bertemu pandang dengan sepasang mata milik Bakti.

Anggit menggigit bagian dalam bibirnya. Mempertimbangkan apakah hendak berbohong atau tidak. Tahu-tahu saja, Bakti menyentuh pundaknya, seperti menyalurkan keyakinan yang Anggit butuhkan. Sejak awal, Anggit tahu bahwa Bakti tidak sedang main-main dengannya, begitupula sebaliknya. Mungkin sudah saatnya mereka mengambil langkah baru. Meski Anggit tahu jalan yang akan mereka tempuh tidak akan pernah terbebas dari aral.

Pada akhirnya, Anggit menyodorkan layar ponselnya yang menampilkan percakapannya dengan Mama kepada Bakti. "Ya udah, ayuk," ucap Bakti ringan. Spontan.

"Ini nggak akan semudah yang terlihat, Ti," kata Anggit lemah.

Bakti menampilkan raut jenaka. "Kenapa? Mama kamu galak ya? Nenek kamu cerewet? Tenang, Bunga jauh lebih jahat dan cerewet. Aku udah kebal."

Anggit mau tak mau tersenyum. "Mama aku punya trauma, kamu tau itu kan?"

Bakti mengangguk, kegusaran dari diri Anggit menular kepadanya meski ia berusaha tetap tampil biasa. "Mama kamu nggak suka aku?"

"Dia nggak suka aku deket dengan cowok mana pun, nggak suka aku pacaran. Kalo ketemu Mama, kamu bakalan ditanya-tanya."

Bakti tampak meragu, tetapi cuma sebentar. Cowok itu lalu mengumbar senyumnya yang biasa. Yang membuat siswi-siswi di sekolahnya luluh dan berharap berlebihan, yang disukai Anggit dan ingin dilihatnya setiap waktu. "Ditanya-tanya juga nggak pa-pa, asal nggak sesusah ulangan fisika. Ayuk. Nggak usah banyak mikir nanti darah tinggi."

Anggit menurut. Ia percaya Bakti. Ia percaya bahwa mereka akan dapat melewatinya bersama-sama. Apa pun itu.

_C-o-l-o-u-r-s_

Perjalanan ke rumah Nenek terasa secepat kedipan mata. Padahal, Bakti tidak melajukan motornya dalam kecepatan tinggi, bahkan di beberapa titik mereka sempat dihadang kemacetan. Rumah nenek asri seperti yang terkahir kali ia ingat beberapa minggu yang lalu. Suasana sepinya terasa begitu kental. Keadaan yang terlampau bersih justru membuat kekosongan itu menyeruak terlalu jelas.

Bakti yang berdiri di sampingnya dan sama-sama mengobservasi rumah nenek sampai bertanya. "Nenek kamu tinggal sendiri?"

Anggit mengangguk. Mama adalah anak tunggal, sementara Kakek meninggal sejak Anggit berusia dua tahun. Sanak saudara baik dari pihak Kakek maupun Nenek berdomisili di luar provinsi. "Nenek nggak pernah mau diajak pindah sama aku dan Mama."

Bakti mengerti, kemudian ia mengikuti Anggit yang memimpin langkah terlebih dahulu. Mereka melintasi jalur berpaving yang membelah halaman berumput. Menaiki undakan yang dihiasi tanaman bebungaan dalam pot aneka ukuran. Anggit mendorong pintu yang tidak terkunci tanpa mengetuk, bersama-sama mereka mengucapkan salam. Sahutan terdengar dari jauh, Mama muncul dari balik tirai pembatas ruang tengah dengan ruang tamu. Sepasang matanya yang cantik menyambut kedatangan mereka dengan ramah, walau terasa menyelidik ketika melihat Bakti untuk pertama kali.

"Masuk-masuk," kata Mama. Ia memberi gestur menyilahkan duduk. "Temannya Anggit ya?" tanya Mama basa-basi.

Bakti mengangguk sopan. Mengikuti Anggit dan duduk di sebelahnya. "Sore, Tante."

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang