7. Pecah

177 31 3
                                    

Anggit membiarkan lampu di kamarnya mati, sehingga penerangan satu-satunya hanyalah sorot lampu ruang tengah yang menerobos melalui kisi-kisi di atas pintu. Temaram. Berlama-lama Anggit memberingkan badan, membiarkan tubuhnya tenang meski pikirannya melayang tak keruan.

Ketika tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dari luar, Anggit dapat merasakan cahaya yang membuat tubuhnya terkesiap. Beberapa sisi kamarnya menjadi terang. Seseorang itu lantas menyalakan lampu.

"Udah tidur, Nggit. Kok tumben?"

Sejujurnya Anggit ingin tetap bertahan di posisi, membiarkan Mama menyangka bahwa ia benar-benar terlelap, tapi bahkan untuk kebohongan sekecil itu, Anggit tidak pernah bisa melakukannya. Tidak untuk Mama.

"Belum, Ma. Kenapa?" ucap Anggit sambil memandang kepada Mama yang berjalan perlahan ke tempat tidurnya.

"Mau minta tolong whats-App in Bu Rina, Nggit. Kuota Mama habis. Punya kan nomor Bu Rina yang waktu itu?"

"Punya sih, tapi ...."

Mama yang kini duduk persis di samping tubuh Anggit terbaring, menatap dengan penuh tanda tanya. "Tapi kenapa?"

Anggit menggeleng. Menghempaskan serentetan alasan untuk berkilah dari perintah Mama yang bermunculan di kepalanya. "Iya, Ma. Ada kok."

"Tolong kamu bilang kalau pesanananya sudah siap diambil ya," terang Mama. "Mama keluar dulu ngerapihin pesenan."

Selepas Mama keluar, Anggit mengambil ponselnya yang tertindih di bawah bantal. Bahkan hanya memegang benda itu saja, jantung Anggit sudah berdentam-dentam. Sejak tadi sore, benda tersebut sengaja ia biarkan mati. Hanya demi menghindari pesan dari orang itu. Dengan gerakan tak pasti, Anggit menyambungkan kabel charger di bawah meja belajarnya ke lubang ponsel. Lalu ketika gawai berukuran 5.5 inchi itu berpendar menyala, Anggit membiarkan tangannya mengambang di atas layar untuk beberapa saat.

Satu menit. Anggit menatap layar ponsel tanpa berkedip. Dua menit, matanya mulai terasa pedas. Pesan dari Bakti tidak pernah muncul. Anggit merasa lega, tapi juga kecewa di saat yang sama.

_C-o-lo-u-r-s_

Tadi malam Papa pulang, sehingga pagi ini mereka akan sarapan bertiga. Bakti tidak tahu, apakah harus senang atau justru meragu. Akan tetapi ketika ia mengoleskan minyak pomade ke rambutnya di depan kaca, ia sudah menyiapkan diri untuk yang terburuk.

Ketika meniti langkah menuruni tangga sambil memanggul tas ranselnya yang kali ini terasa lebih berat dari biasanya, kecangguan itu sudah terasa. Apalagi ketika ia telah memasuki ruang makan, seluruh udara seperti menghilang sehingga membuat paru-paru Bakti mengecil. Dua orang itu sudah berada di sana, duduk manis menghadap piring masing-masing yang belum dibalik. Bakti tertahan beberapa langkah dari meja makan bundar. Memandang kosong kepada Mbak Asa –asisten rumah tangga yang datang setiap dua hari sekali- wara-wiri menghantarkan makanan dari dapur.

Papa yang pertama kali menyadari kehadirannya. "Udah siap, Nak? Ayo sini duduk."

Bakti menuruti perintah Papa. Dirinya menarik kursi di antara Papa dan Bunga. Seperti rantai yang menyambungkan, sayangnya ia bahkan tidak bisa memangkas sedikit pun jarak di antara dua orang itu.

"Gimana sekolah?" tanya Papa sambil membalik piringnya. Bakti dan Bunga melakukan hal yang sama.

"Baik, Pa. Nilai agak turun, tapi masih bisa dikejar," jawab Bakti.

"Kalau Bunga?"

Bakti nyaris tersedak air putih ketika didengarnya Bunga memberikan jawaban lebih dari sepatah kata.

"Baik, Pa. Nilai stabil sih kayaknya."

Papa pun tampak sama senangnya, sehingga ketika kemudian ia kembali bertanya kepada Bakti, nada bicaranya tambah melunak. "Kapan pertandingan terdekat, Nak?"

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang