Rasanya sudah lama sekali semenjak terakhir kali rasa semacam ini singgah di hatinya. Bakti sudah berkali-kali merasakan sakitnya kekalahan. Akan tetapi yang kali ini ia rasakan begitu berbeda. Tidak hanya kalah, Bakti juga merasa tak berdaya, pengecut, jatuh, terpuruk, hancur.
Tidak pernah hadir dalam benaknya bahwa SMA Budi Bangsa mampu menggulung tim sekolahnya dengan skor paling telak sepanjang sejarah. Ia, yang harusnya bisa jadi mesin gol dan memberikan ancaman sejak menit-menit awal justru tak bisa berbuat banyak akibat cover kuat yang diberikan pemain belakang lawan. Berakhir seperti singa ompong hingga pertandingan usai.
Amukan Pak Bayu, umpatan kawan-kawannya, supporter yang berbalik mencacinya, semua terasa tidak ada apa-apanya dibanding hukuman yang ia berikan kepada dirinya sendiri. Setumpuk rasa bersalah dan serentetan sesal yang sepertinya tidak akan pernah terurai.
Setibanya di rumah, Bakti tidak punya cukup kekuatan untuk melakukan kegiatan selain mengganti bajunya dengan pakaian pertama yang ia lihat di lemari, melempar tasnya ke sembarang arah, lalu jatuh meringkuk di bawah selimut. Matanya terpejam dalam keadaan lembab. Tidak mempedulikan dering ponsel yang berbunyi mengisi kekosongan, ia bahkan tidak benar-benar ingat dimana tepatnya ia menyimpan benda tersebut.
Untuk pertama kali ia mensyukuri ketidak hadiran Papa pada pertandingannya. Benar-benar bersyukur.
_C-o-l-o-u-r-s_
Dua hari berlalu dan Anggit tidak akan pernah lupa sorot mata Mama ketika ia mengatakan bahwa dirinya gagal memperoleh tiket olimpiade. Sebersit kecewa yang ditekan dengan ketegaran khas Mama. Mama tidak bertanya apakah ada sesuatu yang berjalan salah saat tes berlangsung, atau bagaimana perasaan Anggit saat itu. Satu-satunya yang Mama ingin ketahui adalah bagaimana dengan beasiswa dan kehidupan perkuliahannya kelak. Apakah masih ada kesempatan lolos SNMPTN dengan jalur beasiswa?
Saat itu Anggit menggelang. Tidak tahu, itu yang ia katakan hanya karena ia merasa terlalu lelah untuk sekedar menjelaskan. Hal itu membuat Mama berinisiatif untuk datang ke sekolah sesegera mungkin. Saat itu, untuk yang ke sekian kalinya, Anggit memaksa dirinya untuk mengerti. Ia pun mengangkat kaki dari hadapan Mama, tersaruk-saruk menuju kamar kemudian mengunci pintunya dan mulai menangis.
Ia tersedu untuk pelukan-pelukan hangat yang tidak pernah ia dapatkan. Untuk elusan punggung yang selamanya cuma jadi angan semu. Mama selalu menjadi seseorang yang sama apa pun yang terjadi. Mama yang kuat, yang mengesampingkan hati dan mendahulukan logika, yang tegar, yang cerdas, yang menawan akan ketangguhannya. Sesuatu yang membuat mereka bisa bertahan sampai sekarang.
Akan tetapi, ada saat-saat di mana Anggit tidak ingin Mama menjadi terlalu kuat, ada saat-saat Anggit ingin Mama menjadi seperti dirinya. Yang bersedih, yang menangis, yang terluka. Mama tidak perlu selalu bertahan, Mama boleh kecewa dan sedih bersama-sama dengannya. Melihat Mama yang kuat membuat Anggit mau tak mau ikut berpura-pura. Di hadapan Mama, di depan Natasha dan Revan. Hanya satu orang yang belum menerima kebohongannya. Bakti.
Dari kabar yang berhembus, Bakti dan tim sepak bola sekolah juga menerima kekalahan menyakitkan pada pertandingan persahabatan kemarin. Anggit tahu benar kekalahan itu menyakitkan, bukan dari gosip teman-teman sekelasnya, bukan dari para supporter fanatik di sekolahnya yang tampak lesu, tetapi dari Bakti yang berhenti mengirimkan pesan untuknya dan mengabaikan beberapa panggilan yang ia usahakan.
Seperti yang Anggit lakukan, Bakti hanya sedang memberi dirinya sendiri waktu untuk berpikir. Untuk merasakan sakit. Mereka berdua sedang sama-sama sakit, dan memberi jeda adalah pilihan terbaik agar nantinya ketika mereka siap membagi rasa sakit itu mereka benar-benar telah siap. Tidak ada kepura-puraan.
Waktu istirahat pertama datang dan pikiran Anggit penuh dengan Bakti. Ia pun mengeluarkan ponsel dari kolong meja. Mengetikkan pesan setelah menimbang-nimbang beberapa saat.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLOURS
Teen FictionTidak banyak yang Anggit harapkan dari masa SMA-nya. Ia hanya ingin bisa mempertahankan beasiswa sampai kelulusan. Sebisa mungkin tidak merepotkan Mama yang bersusah payah membesarkannya seorang diri. Baginya, dunia hitam-putih pun terasa cukup. Me...