6. Karena Dia Ada di Tribun

203 35 8
                                    

 Selamat Membaca...

Setelah menghabiskan malam untuk streaming video youtube sampai nyaris shubuh, Anggit harus berjuang keras untuk sekedar menarik selimut bulunya yang tebal nan hangat dan beranjak dari kasur. Berat. Bimbingan olimpiade kimianya memang baru akan dimulai pukul sebelas nanti, tetapi ia hanya tidak mau menjadi lebih tidak tahu diri lagi dengan membiarkan Mama membuat adonan kue sendirian di hari Minggu begini. Maka dengan terseok-seok Anggit keluar dari kamar dan menuju ke kamar mandi.

Usai cuci muka dan membetulkan rambut seadanya, Anggit berjalan menuju ke dapur. Tempat Mama telah bergumul bersama tepung-tepung dan putih telur sejak pagi buta. Berbalut apron motif bunga-bunga. Aroma harum kue bahkan sudah mulai tercium dari oven listrik.

"Anggit bantu ya, Ma." Anggit membilas lagi tangannya di wastafle, lalu berinisiatif untuk menimbang tepung.

"Nggak usah, Nggit," ucap Mama seperti biasa.

Mama memang selalu cekatan dalam segala hal. Jangankan membuat kue sendirian, diselingi pekerjaan rumah lainnya pun Mama sanggup melakukannya seorang diri. Usianya yang tergolong masih muda membuat Mama selalu semangat dalam mengerjakan apa pun. Mama memang masih delapan belas tahun saat meiliki Anggit enam belas tahun yang lalu.

"Ini berapa gram, Ma? Mau buat bolu panggang kan?" Anggit keukeuh menuangkan tepung ke timbangan. Mama meliriknya sebentar sebelum mendecak tak kentara.

"300 gr saja, habis nimbang itu kamu makan ya, terus siap-siap ke sekolah. Mama nggak mau kamu kecapek an terus nanti nggak konsentrasi belajar."

Kembali Anggit menuangkan tepung di atas timbangan sampai kuota yang disebutkan Mama terpenuhi. "Kan bimbingannya masih nanti jam sebelas, Ma."

"Iya, tapi kamu juga nggak boleh capek-capek." Mama membuka tutup oven listrik, aroma bolu panggang cokelat menyeruak ke seisi ruangan. "Gimana sekolah?"

"Ya enggak gimana-gimana, Ma. Banyak tugas, tapi aku masih bisa handle."

"Nggak ada masalah sama temen?"

Anggit tertawa kecil untuk dirinya sendiri. "Anggit mana punya temen."

"Apa pentingnya temen, Nggit, kalau cuma bikin kamu jadi kehilangan arah. Kalau Cuma bikin kamu lupa sama tujuan awal kamu. Buang-buang waktu. Mama bukannya melarang kamu berteman, Mama Cuma mau ngingetin kalau masih banyak hal yang perlu kamu lakukan daripada sekedar hangout-hangout gak jelas. Mama harap kamu bisa belajar dari pengalaman Mamamu ini."

Anggit mengangguk, dalam hati mendebah kesal. Mama memang selalu menjadi Mama yang bisanya, yang tidak bisa didebat, yang mengutamakan pendidikan Anggit di atas segalanya. Yang selalu menanggung penderitaan seorang diri, tidak peduli sekeras apa pun Anggit meminta agar Mama mau membagi beban itu untuknya barang sedikit saja.

Kalau kamu memang mau membantu Mama, yang perlu Anggit lakukan hanya satu ; Belajar yang rajin, dan jadi orang sukses.

Begitu kata Mama saat Anggit bertanya apa yang bisa dilakukannya untuk membantu Mama dulu sewaktu masih SD. Saat itu Anggit mengangguk, berjanji. Hingga detik ini Anggit berusaha menjaga janji itu dengan baik. Ia belajar dengan rajin, setengah mati mempertahankan beasiswa, tidak pernah berulah. Dan belajar dari pengalaman Mama supaya tidak terlalu punya banyak teman. Agar ia bisa fokus kepada tujuannya. Menjadi orang sukses.

Mama punya alasan. Anggit tahu itu. Dirinya bukan anak yang diinginkan, Anggit tahu itu. Keberadaan Anggit adalah sebuah kesalahan. Buah dari masa remaja yang kelewat menggelora. Mama baru memasuki semester kedua perkuliahan ketika mendapati dirinya mengandung anak mantan pacarnya. Sejak itu hidup Mama yang semula gilang gemilang hancur seperti disapu gelombang pasang. Dalam sekejap Mama kehilangan segalanya.

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang