14. empat belas

237 6 0
                                    


Begitulah, sambil melepaskan rindu setelah beberapa waktu terpisah akibat peperangan yang berkecamuk antara Panjalu dan Jenggala, yang berakhir dengan kekalahan Jenggala, maka Sri Girindra tak lupa menanyakan tentang kemajuan kanuragan Rajasa yang beberapa waktu berlatih dibawah bimbingan Senopati Bango Samparan.

Rajasa, yang dibenarkan oleh Bango Samparan kemudian bercerita tentang kesehariannya pagi dan sore berlatih secara giat karena merasa bahwa ilmu kanuragannya memang masih sangat rendah.

Sri Girindra tampak puas mendengar penjelasan dari anaknya, serta dari Bango Samparan. Tak lupa ia berpesan bahwa berlatih kanuragan itu yang penting adalah ketekunan, jangan merasa cepat bosan karena memang ilmu itu tidak bisa sekonyong konyong langsung bisa mencapai puncaknya. Ibarat anak tangga, harus satu demi satu anak tangga dinaiki baru setelah semua anak tangga dinaiki, maka sampailah ke puncaknya. Demikian juga dengan ilmu kanuragan, tahap demi tahap, jurus demi jurus dilatih sampai tuntas hingga mencapai tahap tertinggi.

"Baiklah, sekarang biarkan para pamanmu beristirahat dulu Rajasa, nanti sore Aku ingin melihat langsung sampai dimana yang telah engkau pelajari dari pamanmu Bango Samparan" ujar Sri Girindra

"Baik Ayahanda" balas Rajasa pendek kemudian bergegas menuju pondokannya untuk beristirahat.

Sri Girindra kemudian juga menyusul menuju pondokan yang telah disediakan untukknya, beristirahat setelah sekian waktu berjalan menuju tempat pengungsian mereka di lereng Gunung Pawitra.

Sore harinya, seperti telah dijanjikan, maka Sri Girindra bersama dengan Bango Samparan mengajak Rajasa ke tempat yang lapang dan sepi untuk melihat sejauh mana hasil berlatih kanuragan.

Setelah berjalan beberapa lama, mereka berhenti di dekat bekas patirtan, dan kemudian Sri Girindra meminta Rajasa untuk menunjukkan kebolehannya.

Maka dengan bersemangat Rajasa mulai menunjukkan hasil latihannya selama ini, mulai dari tingkat dasar, jurus jurus yang paling sederhana sampai jurus terakhir yang telah dikuasainya.

"Kuda kudamu sedikit kurang kokoh Rajasa, sebaiknya kakimu sedikit kau lebarkan, agar kusa kudamu makin kokoh" ujar Sri Girindra menilai hasil latihan anaknya.

Begitulah, setelah kehadiran rombongan Sri Girindra, maka perkampungan yang dibangun oleh pelarian prajurit dari Jenggala itu semakin bertambah ramai. Rumah-rumah pondokan baru dibangun untuk menambung anggota rombongan yang baru saja tiba itu.

Sementara Rajasa dan anak-anak dari para bekas penguasa dan pejabat Jenggala tiap hari dilatih olah kanuragan dan berbagai pengetahuan lain, termasuk ilmu tentang pemerintahan, strategi perang, pengobatan dan pengetahuan lain. Sri Girindra dan para bekas pejabat Jenggala yang langsung membimbing mereka. Sementara para brahmana kerajaan bertugas membimbing dan mengajar tentang pengetahuan agama bagi para calon penerus masa depan Jenggala itu.

Di sisi lain, agar tidak ketinggalan kabar tentang situasi yang ada di seputar bekas wilayah Jenggala, jaringan telik sandi yang masih ada terus saling berhubungan dengan bekas prajurit Jenggala yang tersebar di seluruh perkampungan di bekas wilayah Jenggala serta yang berada di berbagai padepokan kanuragan tempat asal mereka dahulunya berguru.

Sri Girindra dengan penuh kesadaran menanamkan keyakinan bahwa perjuangan untuk merebut kembali Jenggala dan menghancurkan Panjalu adalah perjuangan yang panjang, yang baru akan dilaksanakan paling cepat sepuluh atau lima belas tahun lagi setelah anak-anak mereka tumbuh dewasa dan sanggup untuk berjuang melawan ketangguhan para prajurit Panjalu.

"Agar tidak ketahuan telik sandi Panjalu yang meskipun sudah merasa tidak perlu lagi mencoba mengendus jejak kita, alangkah baiknya jika perkampungan kita ini kita bentuk menjadi sebuah padepokan, kita yang tua-tua ini akan bertindak sebagai para guru padepokan, sebagai para Empu sebagaimana para brahmana" ujar Sri Girindra

"Kami sepakat dengan usul Gusti Prabu, dengan begitu, tidak akan ada kecurigaan dari pihak Panjalu, dan juga kita bisa menambah murid dari kampung-kampung yang dekat dengan Gunung Pawitra ini Gusti" ujar Rakryan Patih

"Betul sekali Kakang, ibaratnya sekali kita mendayung, maka dua tiga pulau kita lampaui" ujar Sri Girindra

Maka begitulah, sejak itu perkampungan pelarian prajurit dan pejabat itu diubah menjadi padepokan, dan Sri Girindra kemudian memakai nama Empu Giri sebagai nama panggilan di padepokan Pawuwatan itu.

Arok, Sang PengguncangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang