23

52.6K 3.1K 10
                                    

Ada yang selalu mendoakanmu dari kejauhan. Yang selalu bangun pada sepertiga malam, hanya untuk mendoakan diam-diam. Dia tau... Kepada diapa seharusnya dia meminta. Harapannya nyata.

                  🍁🍁🍁

"Jadi, kapan tanggalnya?." Tanya Pak Atthar.

"Itu juga satu hal yang mau Abi bicarakan."

Degg. Kenapa aku jadi gugup ya? Iren terus menggenggam erat tanganku.

"Nak Atthar, kamu sudah siap menikah kapan saja?." Tanya Abi pada Pak Atthar.

"Siap, Abi." Jawabnya yakin.

"Siap menikah minggu depan?."

Appa?!!! Minggu depan?!

Seketika ruangan menjadi riuh, minggu depan? Apa tidak terlalu cepat?

"Begini.. Pernikahan sebaiknya disegerakan, tidak baik berlama-lama. Atthar dan Ningrum sama-sama siap. Hanya diperlukan calon suami, wali nikah, mahar dan saksi. Surat-surat bisa menyusul. Yang penting mereka sudah sah menjadi suami istri secara agama." Jelas Abi kepada kami semua.

Tampak Ayah Pak Atthar dan Ibunya berbicara berdua, Pak Atthar berada diantara mereka.

"Atthar siap Bi, Paman... Atthar sudah yakin, apa lagi yang mau ditunggu?." Aku mendengar Pak Atthar bicara dengan kedua orang tuanya.

Tapi tunggu. Bi? Paman? Maksudnya? Kenapa Pak Atthar memanggil Ayahnya dengan sebutan Paman?

Kelihatannya Pak Atthar berhasil membujuk kedua orang tuanya.

"Baiklah, InsyaAllah kami setuju. Dimana pernikahannya akan dilaksanakan?." Tanya Ayah Pak Atthar pada Abi.

"Bisa disini atau dimasjid." Kata Abi sopan.

"Baiklah kalau begitu, kita sepakati pernikahannya minggu depan." Ucap Ayah Pak Atthar yakin.

"Alhamdulillah..." Lagi-lagi tahmid berkumandang.

It's happening. Aku akan menikah, minggu depan.

Aku menatap Umi, air mata sudah membasahi pipinya, begitu pula dengan Iren. Aku harap ini air mata bahagia. Aku memeluk mereka bergantian.

"Selamat ya... Ningrum sayang..." Kata Iren memelukku erat. Aku mengangguk sambil mengusap air mataku.

Iren melepaskan pelukannya, dia tersenyum kearahku kemudian dia beranjak dari duduknya, berjalan kearah Yusuf.

Iren duduk disebelah Yusuf. Alhamdulillah.. Hatiku sekarang sudah biasa saja ketika melihatnya.

Aku melihat kearah Pak Atthar, aku mendapatinya sedang melihat kearahku. Kali ini sebuah senyuman terukir dibibirnya, bukan raut datar yang tadi dia perlihatkan padaku. Aku menunduk setelah membalas senyumnya.

Jantungku... Ada apa dengan jantungku? Mengapa berdetak lebih cepat dari biasanya?

***

"Semoga lancar ya sampai hari-H." Kata Iren.

Sekarang aku dan Iren sedang duduk-duduk masih diruang tengah, sedangkan para lelaki sedang sholat Isya dimasjid. Umi dan Bibi sedang berada didapur.

Aku baru tahu wanita yang aku anggap ibunya Pak Atthar itu ternyata Bibinya, sedangkan kedua orang tua Pak Atthar sudah meninggal ketika Pak Atthar masih kecil.

Tadi setelah mebahas tentang pernikahan, Pak Atthar menceritakan keluarganya, aku benar-benar salut pada Pak Atthar. Tentu saja, ditinggal kedua orang tua itu bukan hal yang mudah. Anak-anak sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang kedua orang tuanya.

Apalagi ketika melihat teman-teman kita yang jika kesekolah diantar orang tuanya, itu pasti sangat menyesakkan. Aku begitu bersyukur karena Allah masih membiarkanku melihat,dan bersama-sama dengan wanita cantik dan lelaki yang tegas seperti Umi dan Abiku. Aku sangat menyayangi mereka.

"Iya amin.." Kataku sambil mencomot kue yang dibuat Umi.

Lagi asik-asiknya makan, tiba-tiba ada seseorang yang duduk dihadapanku. Otomatis aku menoleh.

"Uhuk.." Hampir aku tersedak, untung sedang tidak penuh mulutku.

Iren senyum-senyum melihatku yang salah tingkah, aku melotot kearahnya kemudian memalingkan wajahku kearah lain.

"Ningrum.."

Aku merinding ketika Pak Atthar memanggil namaku.

"Iya.., Pak." Kataku.

"Sudah tahu maharnya apa?." Tanyanya.

"Eh..., ehmm belum tahu, Pak." Kataku sambil memperhatikan kue-kue yang berada dipiring.

Pak Atthar menghela nafasnya "Jangan karna waktu yang sempit kamu minta mahar yang mudah. Minta saja yang kamu mau, nanti saya usahakan."

Eh.. Ternyata Pak Atthar tidak pelit ya, aku mulai suka, hehe..

"Mmm.. Oke.., nanti Ningrum kabari." Jawabku.

"Baik., saya tunggu." Kemudian Pak Atthar beranjak dari duduknya berjalan menuju meja makan yang sudah ada kedua orang tuaku dan juga keluarga Pak Atthar.

Aku memegangi dadaku yang sedang berdetak cepat.

"Pak Atthar nggak pelit, ya?." Kata Iren.

Aku tersenyum sambil menghendikkan bahuku. Kira-kira maharnya apa ya?

****

Setelah acara makan malam keluarga Pak Atthar pamit untuk pulang. Kami mengantarkan keluarga Pak Atthar sampai depan rumah.

Kedua orang tuaku menyalami keluarga Pak Atthar, lalu aku menyalami Paman dan Bibi. Aku mencium kedua pipi Bibi "Hati-hati dijalan, Bi." Kataku.

"Iya, sayang." Katanya. Ternyata Bibinya Pak Atthar itu asyik orangnya, bahkan aku cepat sekali akrab dengan beliau.

"Aku pulang ya, Ning." Kata Iren. Aku mengangguk "Hati-hati." Ucapku tersenyum.

Aku melirik kearah Yusuf, dia memalingkan wajahnya kemudian langsung masuk kedalam mobil.

Kenapa sifat Yusuf jadi seperti itu?

Keluarga Pak Atthar menyusul Yusuf, Pak Atthar masih berdiri dihadapanku sambil memandangku, aku jengah dibuatnya, aku melirik kearah lain.

Aku melihat Pak Atthar terkekeh, eh.., mengapa dia tertawa?

"Masih mau disini?." Kataku cuek.

Pak Atthar masih terkekeh "Saya pulang yaa." Katanya setelah berhenti tertawa.

Aku mengangguk. "Assalamu'alaikum." Kata Pa Atthar. Aku, Umi dan Abi menjawab salam Pak Atthar.

"Saya pulang, Mi, Bi." Kata Pak Atthar pada kedua orang tuaku.

Umi mengangguk sambil tersenyum, sedangkan Abi berkata "Hati-hati."

Kemudian, kedua mobil itu keluar dari gerbang rumahku.

***


Yeyyyy.. Akhirnya bisa update cepet juga haha.

Makasih ya yang udah sabar nungguin❤

Happy reading...

Penantian Halalku ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang