BEL pulang sekolah sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Semua siswa-i sudah menenteng tas mereka dan berjalan keluar dari kelas masing-masing. Agatha terlihat masih ada di kelasnya, ia menunggu Ricky agar bisa memarahi cowok itu atas hukuman yang ia dapatkan.
Saat melihat Ricky menggendong tas dan berjalan keluar, Agatha langsung menghalangi jalan cowok itu. Ia tidak akan membiarkan Ricky pulang dengan tenang.
Yang dihalangi jalannya hanya mendesah kesal. Ia menatap Agatha tepat dimanik matanya, membiarkan cewek itu salah tingkah dan dirinya bisa mengambil kesempatan untuk kabur. Tapi sayang seribu sayang, Agatha tetap teguh tak tergoyahkan. Sial.
"Minggir Ta, aku mau pulang, kalau mau ngajak kencan, nanti aja ya."
"Kencan nenekmu gundul, berkat dirimu aku mendapatkan hukuman dari Pak Gio tahu nggak."
"Aku tahu, kamu kira aku pikun? Aku juga ada di sana, ngeliat kita dimarahin dan mendapatkan hukuman karena kamu yang ngga ngaku karena liat-liat aku."
"Ih apaan, kamu yang lebih tepatnya liat-liat aku. Sekarang gini aja, kalau kamu mau mengakui kesalahanmu dan ngga berkilah, aku bakal mikir ulang buat ngga ngasih semua hukuman itu untuk kamu kerjaiin sendiri."
Mata Ricky membulat tidak terima. Apa-apaan Agatha ini, dia pikir yang salah di sini hanya dirinya saja. Ia juga korban jika Agatha tidak tahu. Kepalanya menggeleng tegas menolak, tangannya bisa mengkerut sebelum waktunya jika harus mengerjakan sendiri.
"Mulutmu ngga pernah aku sumpal ya? Kaga. Enak aja, kamu juga salah, kenapa liat-liat aku? Lagian terserah aku dong mau liat ke mana aja, mata-mata siapa kok yang repot siapa."
"Aku ngga peduli, pokoknya aku ngga mau ngerjain hukuman itu."
Ricky tersenyum kecut.
"Terserah, tapi aku tinggal bilang aja sama Pak Gio kalau yang ngerjain hukuman itu cuma aku, dan murid pintar yang ada di kelas itu sama sekali PEMALAS."
Agatha mengepalkan tangannya di bawah rok abu-abu. Ia tidak terima dikatakan pemalas, ia hanya tidak mau mengerjakan tugas yang harusnya bukan ia kerjakan.
"Jaga ya omongan kamu. Aku. Bukan. Pemalas," jeda Agatha, "Oke, sekarang kita permudah saja, aku bakal ngerjain bagianku, yaitu perang dunia kedua, dan kamu akan mengerjakan bagian kamu, yaitu perang dingin. Kita kerjaiin sendiri-sendiri."
Setelah mengucapkan itu, Agatha meninggalkan Ricky yang terdiam. Cowok itu diam bukan karena tugas yang Agatha berikan terlalu berat, tapi dirinya baru sadar jika dengan hukuman ini ia bisa dengan leluasa mengerjai Agatha. Bibir tipis Ricky membentuk seulas senyum.
"Tunggu aku, Ta, pangeran jahilmu akan datang."
*****
Setelah melewati jalanan yang panjang dan menyesakan pemandangan--macet--Agatha akhirnya sampai di rumah. Suasana rumahnya terlihat sepi, seperti tidak ada orang sama sekali. Agatha memiliki satu asisten rumah tangga, tapi bi Inah--asisten rumah tangga Agatha sedang mengambil cuti bulan ini.
Adiknya, Davian juga tidak kelihatan batang hidungnya, dia pasti sedang ada kegiatan tambahan pelajaran--les--yang diambil di luar jam sekolah. Agatha berjalan menuju dapur. Hal pertama yang ia lakukan saat sampai di sana membuka kulkas dan menumpahkan air jeruk ke gelas kaca.
Sekali teguk Agatha menghabiskan es jeruk itu, ia terlihat kehausan sekali. Dirinya masih kesal atas kejadian di sekolah. Sebagian dirinya masih tidak terima, tidak, tidak, seluruh dirinya yang tidak terima.
"Dia pikir, dia hebat begitu, dasar cowok, kemarin aja buat baper, sekarang malah buat keki. Mati aja sana," bahasa Agatha sudah kasar, berarti ia benar-benar kesal.
"Ah mama, anakmu yang cantik ini sial mulu kayaknya kalau deket dia. Kesel, kesel, kesel."
Agatha menghembuskan napas kesal, ia menyandarkan dirinya di dekat meja makan. Menarik napas, menghembuskan napas pelan, Agatha mencoba mengatur ritme napasnya yang terputus-putus karena emosi.
Getaran yang diberikan ponselnya di rok SMA, mengalihkan fokus Agatha. Cewek itu mengambil dan melihat siapa yang menelpon. Ternyata itu video call dari Tiara, sesaat Agatha sempat mengernyit bingung, tapi akhirnya ia angkat juga.
Di sana, kepala Tiara tengah menoleh, sedikit Agatha mendengar sahabatnya itu tengah berbicara dengan seseorang cowok yang suaranya sedikit lebih halus, bahkan ia kalah. "Eh--udah lo angkat Ta, ternyata."
"Hem, kenapa video call aku, Ra?" balas Agatha dengan setengah hati. Ia juga masih kesal dengan Tiara yang tadi tidak mau membantu dirinya.
"Gapapa, gue sama Dinda cuma mau ngajak lo buat ke salon, si Dinda katanya mau potong rambut, lo mau kesini kaga? Nanti gue suruh Adit buat bareng sama lo--eh tapi kayaknya lo udah ngga di sekolah."
Informasi saja, Adit itu gebetannya Tiara, mereka mulai dekat saat tahun ajaran baru kelas 12 dimulai kemarin. Denger-denger, mereka dekat juga karena memliki satu pemikiran yang sama, membuat keduanya langsung merasa cocok.
"Aku udah di rumah, telat banget kamu beri tahunya," ujar Agatha. Ia kembali menumpahkan es jeruk ke dalam gelas kaca. Sedikit-dikit ia meminum es jeruk itu.
Tiara tertawa geli, "Lupa tadi gue sama Dinda, yaudah sih lo tinggal ke sini aja, tinggal pesen ojol*, nanti gue yang bayarin."
"Kaga ah, aku udah ngga ada mood buat pergi, masih kesel sama yang tadi."
"Yailah, sori, sori, gue tadi ngga bermaksud buat ngga bantu lo, suer deh, cuma intimidasi dari Pak Gio bikin gue diem. Takut juga kali gue sama tuh guru, walaupun dia ganteng, hehe."
"Alasan," cibir Agatha, "Tapi aku beneran bete tahu sama Ricky, gara-gara dia tugasku malah nambah, cape kembarannya hayati lama-lama."
"Ada apa nih, gue denger nama Ricky," kamera beralih menunjukan wajah Dinda, rambut cewek itu sedang dipotong oleh satu pegawai salon.
"Udah ngga heran gue kalau lo selalu ribut mulu sama dia, hapal banget," lanjut Dinda yang mendapat tawa geli dari Tiara dan pegawai salon yang memotong rambutnya.
"Kan gue udah bilang, coba pake cara gue, lo-nya aja yang kaga nurut--poninya sedikit jangan dipotong mas."
"Itu kaga baik Dinda sayang, aku lebih baik diemin dia aja, daripada harus bikin orang sakit hati, kan doa orang sakit hati selalu diijabah sama Tuhan."
"Ya, ya, terserah lo deh, tapi gue saranin sekali lagi, ikutin apa kata gue tempo lalu--atau jangan-jangan lo sendiri yang udah baper sama dia? Jawab gue jujur, Ta."
"Eng--engga lah, aku mana mungkin kebawa perasaan sama dia."
"Ngga usah berdalih, dari nada bicara lo aja gue udah bisa ngerasain. Emang ya, orang dulu selalu bener, perasaan bisa tumbuh seiring bersama."
"Alay banget bahasa lo, sok jadi pakar cinta."
"Diem lo, Ra, gue serius nih, berarti ucapan lo waktu dulu sekarang jadi kenyataan ya? Duh manis banget sih kalian."
Agatha menggeleng, apa benar jika ia sendiri sudah terbawa perasaan oleh Ricky. Detak jantung yang sering terjadi kemarin, dan senyum geli itu, apa tanda dari jika dirinya memang sudah jatuh?
"Aku ngga tahu, intinya aku kesel sama dia, gara-gara dia kerjaanku jadi nambah. Udah dulu, aku mau istirahat, bye!"
Sambungan video call langsung diputuskan Agatha. Mata cewek itu memejam sebentar, mencoba melupakan apa kata Dinda barusan. Tapi percuma saja, pikiran dan hatinya tetap terus berputar pada ucapan Dinda. Dan ia jadi menyesal karena menjawab video call dari Tiara.
*****
*Ojol = Ojek online.
A/n.
Huaa maafkan gue ya yang lama update, gimana, gimana, ada yang kangen dengan mereka kah? Hehee
See you soon,
raggaziBogor, 20 Maret 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
HSR (1): Ricky & Agatha
Teen FictionAmazing cover by @itsmeyeremia Bukannya kata orang jaman sekarang, cinta itu tumbuh karena terbiasa? Ricky & Agatha © Copyright 2018 by Raggazi