SEBUAH motor berhenti tepat di depan sebuah rumah. Ricky melepaskan helm yang ia kenakan, sedangkan Agatha sudah bergerak turun. Cewek itu masih sedikit bingung dengan perilaku Ricky hari ini. Ia bertanya pada dirinya sendiri, perihal apa yang cowok itu rencanakan.
Suara serangga malam memecahkan keheningan di antara mereka berdua. Ricky menggaruk rambut belakangnya sebelum pamit pulang.
"Tunggu dulu Ki, aku mau nanya, kamu kenapa jadi aneh begini? Maksudku, sikap kamu hari ini bener--"
"Aku gapapa. Memangnya maksudmu yang aneh itu kaya gimana?"
Agatha menelan savilanya dalam-dalam. Kenapa sekarang dia kesusahan berucap, dan kenapa suasana di sekitarnya menjadi sangat menyeramkan.
Jujur saja, aura yang Ricky keluarkan malam ini membuat Agatha sedikit takut, walaupun cowok itu hanya diam dan menatap dirinya dalam-dalam. Sereem....
"Ya kamu tiba-tiba berubah, ngga gangguin aku lagi, walaupun masih dan ngga seperti dulu, tapi tetap aja kamu bersikap beda dari biasanya."
"Jadi kamu rindu aku gangguin?" tanya Ricky. Ia berharap jawaban Agatha sesuai dengan ekspetasinya. Tapi yang namanya realita, tidak pernah mulus seperti ekspetasi, bukan?
"Bukan-bukan, bukan kayak gitu, aku--"
"Aku capek Ta, mending kamu sekarang masuk aja, udah malam ngga baik buat kesehatan. Aku pulang," potong Ricky yang sudah memasang helmnya kembali.
Motor hitam itu menghilang ketika Agatha berdiri di depan pintu. Cewek itu belum berkata apa-apa lagi. Dia memilih berjalan masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang tak menentu, walaupun yang mendominasi ialah rasa penasaran.
"Kok baru pulang, Kak? Terus tadi suara motor siapa yang di depan?" tanya sesosok pria paruh baya yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Koran yang dibacanya tadi terlipat begitu saja ketika melihat Agatha berjalan melewati dirinya.
"Ayah." Agatha menghampiri laki-laki yang sudah menjadi pahlawannya sejak kecil. Ia mencium punggung tangan ayah, "Tadi Kakak anterin temen beli buku Yah, maafin kakak yang ngga kasih tahu Ayah atau Mama dulu tadi."
"Yasudah, sekarang kamu ganti baju abis itu cuci muka, jangan mandi ini udah malem, nanti kamu kena penyakit tulang lagi."
Agatha hanya mengangguk. Ia tersenyum sebelum meninggalkan ayah. Di ruang keluarga, ia melihat mama dan Davian yang sedang asik menonton acara di televisi. Mereka sesekali tertawa lucu melihat adegan yang ada di layar kaca. Ia kemudian melanjutkan kembali langkahnya menuju kamar.
Sampai di kamar, Agatha menaruh tasnya di samping meja belajar dan merebahkan dirinya di atas kasur empuk. Iris mata berwarna cokelat terang itu menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Dia masih terpikir soal sikap Ricky yang tadi.
Apa Ricky marah karena dirinya melakukan sebuah kesalahan? Seperti dulu saat dia tidak sengaja menjadikan Ricky sebagai objek untuk melakukan tantangan yang diberikan oleh kedua sahabatnya.
Agatha memiringkan tubuhnya. Tapi, jika dipikir-pikir, hubungan mereka berdua bukannya saat ini sudah membaik. Tidak ada juga kesalahan yang Agatha lakukan. Malahan, ia sekarang sadar, jika dia suka dengan cowok itu. Geteran yang ada di saku celana tiba-tiba membuat Agatha bangkit dan mengambil ponselnya.
Gevan: Ta, kamu udah sampai rumah? Si Riki ngga ngapa-ngapain kamu kan?
Bibir Agatha tersenyum, jari cewek itu tergerak mengetikan beberapa pesan kata untuk Gevan. Ia sedikit merasa bersalah kepada Gevan karena main pergi begitu saja, padahal dia sudah berjanji mau menemani cowok itu.
Agatha: Udah kok Van. Haha, kamu ngga perlu khawatir, aku bisa ko tanganin Ricky kalau dia berani macem-macem. Dan maafin aku yang tadi main pergi aja, jadinya ngga bisa bantu kamu deh.
Beberapa menit kemudian Gevan belum juga membalas pesan Agatha. Cewek itu mencoba bersikap positif thinking kalau Gevan mungkin saja lagi sibuk hingga belum membaca pesan darinya.
Dan biasanya disaat seperti ini, Ricky sering kali menganggu Agatha dengan pesan-pesan receh. Dia jadi merindukan hal yang sekecil itu. Akan tetapi, lima detik selanjutnya Agatha sadar atas apa yang baru saja ia katakan. Dia langsung membanting ponselnya di atas kasur.
"Mamaaa, Tata maluuuu."
*****
Pagi hari di hari berikutnya Agatha menemukan keanehan. Dia tidak menemukan Ricky yang menjahili dirinya. Itu cukup aneh, tapi bukannya ini yang Agatha inginkan. Ricky berhenti menganggu dirinya, dan dia bisa hidup dengan tenang. Akan tetapi, kenapa rasanya ia tidak rela ya sekarang? Dia lupa, ia sendiri sudah suka dengan sikap cowok itu.
Agatha melihat Ricky yang hanya memasang wajah datar, sebentar. Dia mengernyit, ada apa dengan cowok itu, tidak biasanya begitu. Ricky yang ia kenal selalu tersenyum, membagi kebahagian dan ... menganggu dirinya.
Dinda dan Tiara yang menyadari ada gelagat aneh dari dua orang yang biasa ribut itu, memilih untuh menghampiri Agatha yang duduk di kursinya. Cewek yang rambutnya biasa dikuncir satu itu tengah mengerjakan tugas dari ketua kelas mereka. Ketua kelas berkata bahwa guru bahasa Inggris mereka tengah mengambil cuti karena kehamilannya yang sudah membesar.
Kedua sahabat itu saling pandang. Mereka menyikut tangan satu sama lain, menyuruh salah satu dari mereka untuk berbicara kepada Agatha. Tiara yang menyadari ini tidak ada akhirnya, memilih untuk mengajukan dirinya saja yang bertanya.
"Ta," panggil Tiara pertama-tama. Agatha hanya bergumam menjawabnya, "Lo sama Ricky lagi marahan ya?"
Tangan Agatha yang tadinya sedang menulis, tiba-tiba saja berhenti ketika mendengar nama Ricky disebutkan. Kepala Agatha menoleh, melihat kedua sahabatnya yang ada di sebelah kanan--tepatnya di kursi ada Tiara dan Dinda yang berdiri di samping meja.
"Aku ngga tahu, dia tiba-tiba aja kayak orang marah, seperti orang yang ngga kenal sama aku." Agatha menutup muka dan membasuhnya kemudian. "Apa aku ngelakuin kesalahan lagi?"
Sontak, kedua sahabat itu menggeleng polos. Mereka berdua juga tidak tahu apa yang terjadi dengan Ricky dan Agatha secara jelas. Tapi, yang mereka lihat, Ricky seperti mencoba menghindar, hal yang harusnya dilakukan Agatha sejak dulu.
"Tapi bukannya bagus ya dia ngejauh, i mean ngga gangguin lo lagi seperti yang kita inginkan," ujar Dinda yang mendapat pelototan Tiara.
Sungguh, sahabatnya yang satu ini bukannya bantuin malah nyusahin.
Apa yang Dinda katakan ada benarnya juga, Agatha seharusnya merasa lega setelah selama ini memikirkan cara agar cowok itu berhenti menganggu atau menjahili dirinya. Tapi, seperti yang dia katakan sebelumnya, ada rasa tidak rela saat Ricky menjauh. Ada sesuatu yang hilang dari bagian hidupnya. Seperti langit tanpa senja, hari tidak akan pernah merasa sempurna.
"Tapi kan Nda, ngga begitu juga kali, masa tiba-tiba menghindar tanpa ada alasan yang jelas, pasti ada alasannya," ujar Agatha. Tiara mengangguk sependapat dengan Agatha.
"Bener apa kata si Tata, ngga mungkin ngga ada alasannya. Pasti ada sesuatu yang Ricky sembunyiin dari kita dan itu pasti ada hubungannya dengan Agatha."
"Terserah kalian deh ya, giliran udah jauh baru di pikirin, kemarin pas deket malah di suruh ngejauh. Pusing dah," kesal Dinda. Dia kemudian melenggang pergi meninggalkan Tiara dan juga Agatha.
Setelah Dinda pergi, Agatha kembali menoleh menatap Ricky, cowok itu tengah bercanda dengan Adit. Saat mata mereka bertemu, Ricky yang biasanya bersikap jahil kepada Agatha, kali ini dia hanya melengos membuang muka. Agatha menghela napas. Fix! Sikap Ricky persis seperti anak kecil sekarang.
"Ra, biasanya kalau cowok lagi marah atau menghindar kayak gini, biasanya karena apa?" tanya Agatha. Kini kepala cewek itu menatap Tiara.
"Biasanya kalau Adit kaya gini ada dua kemungkinan, dia kesel karena dicuekin atau dia cemburu gue deket-deket sama cowok lain."
*****
A/n.
Hmmm, udah mulai masuk konflik nih.
Baru setengah jalan, masih pada kuat tidak???? Wkwkwkw
See you soon,
raggaziBogor, 13 April 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
HSR (1): Ricky & Agatha
Ficção AdolescenteAmazing cover by @itsmeyeremia Bukannya kata orang jaman sekarang, cinta itu tumbuh karena terbiasa? Ricky & Agatha © Copyright 2018 by Raggazi