13. Menyadari

158 21 3
                                    

DUA hari kemudian, Citra Bangsa kedatangan siswi baru. Seperti yang Gevan bilang kemarin, siswi baru itu merupakan keturunan dari kerajaan jawa yang terbesar dan pernah ada di Indonesia. Penampilannya begitu elegan dan rapih walaupun memakai seragam yang sama dengan siswi lainnya. Aura seorang putri begitu terpancar di wajahnya, membuat siapa saja yang memandang akan merasa teduh.

She look perfect untuk hari pertama sekolah.

Desas-desus tentang siswi baru sampai di penjuru sekolah, begitu pula Agatha yang sudah mendengarnya. Ia jadi penasaran dengan cewek yang sekarang menjadi warga kelas 12 Ipa 2. Teras depan kelas itu penuh dengan orang-orang yang ingin melihat. Agatha saja sampai sesak begitu lihatnya apalagi mereka yang ada di sana.

"Gila rame banget, emangnya dia cantik banget ya sampe seluruh isi sekolah mau liat dia?"

Agatha hanya bergidik tidak tahu, dia sama bingungnya dengan Dinda. Sekali lagi, matanya melihat kerumunan yang berkumpul di depan kelas 12 Ipa 2.

Dari ujung koridor dekat tangga yang menghubungkan lantai bawah dan atas, Ricky terlihat sedang berlari ke arah sini, hampir setengah jarak ke Agatha, Ricky mulai berseluncur di lantai licin. Gerakannya seperti seorang peseluncur handal saja.

"Ada apaan tuh di ipa 2, kok kelihatannya rame banget," ujar Ricky saat sudah sampai di depan Agatha dan kedua sahabat cewek itu.

"Anak baru, biasalah, kaya kaga tau anak Cibas aja," kekeh Dinda. Kepala Ricky mengangguk paham, ia jadi ingat soal Gevan yang kemarin memberitahu jika akan ada anak baru.

"Oh anak baru itu masuk sekarang, terus lo semua ngapain di sini?"

Sebelum Dinda menjawab pertanyaan Ricky, Agatha sudah terlebih dahulu menyambarnya. "Kepo, emangnya kita ngga boleh ke sini?"

"Dih, aku kan nanya ke Dinda, kok malah kamu yang nyamber, marah-marah lagi." Ricky menggeleng, ia jadi heran sendiri dengan Agatha.

Dua hari kemarin, dia dan Agatha tidak ribut seperti biasanya. Seperti ada sesuatu yang menahan mereka untuk tidak mencari perkara satu sama lain.

"Yaudah, lagian pertanyaan kamu ngga tertuju pada siapapun tadi, ya jadi aku ngga salah kali kalau jawab pertanyaan kamu. Ini tuh harusnya bersyukur ngga ada yang cuekin kamu." Agatha terus membela diri, panjang kali lebar ucapan itu hanya berisi pembelaan untuk dirinya sendiri.

"Oh berarti kamu peduli sama aku dong?" Ricky tersenyum lebar tanpa mau disuruh.

Pertanyaan Ricky barusan memerahkan pipi Agatha. Kepala cewek itu menunduk ke bawah, mencoba menghindar agar Ricky tidak melihat semburat merah. Ia jadi menyesal berkata sedemikian rupa.

"Tuh kan, terbukti kalau kamu tuh emang suka sama aku." Ricky tersenyum puas. Sekarang ada sesuatu hal yang menghangatkan ketika ia berkata seperti itu.

"Mimpi! Yuk ah Ra, Nda, kita ke kelas aja. Aku udah ngga mau di sini, males ada cowok nyebelin yang kerjaannya bikin aku susah mulu," ujar Agatha tajam, Ricky bahkan sempat tertegun mendengarnya.

Ricky mengepalkan jari-jari tangan dengan kuat. Ketika Agatha melewati tubuhnya, ia menahan pergelangan tangan itu, secara refleks. Ada sengatan yang menjalar di tubuh keduanya, jantung mereka langsung memompa dengan cepat, walau yang paling cepat ternyata Agatha.

Jika sebelumnya Ricky dan Agatha dekat dengan jarak 2 jengkal, sekarang mereka begitu dekat, kulit keduanya bahkan bersentuhan. Waktu terasa berhenti detik itu juga. Suara riuh yang tadi terdengar, tiba-tiba saja menghilang. Agatha maupun Ricky merasa jika hanya ada mereka berdua di dunia ini. Hanya berdua.

"Rik...." ujar Agatha dengan suara yang pelan. Ekor matanya melirik tangan Ricky yang masih menahan dirinya.

Maaa, kakak bisa mati muda ini namanya, batin Agatha.

HSR (1): Ricky & AgathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang