Take Over Your Soul

228 63 31
                                    

Serius Aksa baru sadar, ini cerita makin enggak jelas aja tiap harinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Serius Aksa baru sadar, ini cerita makin enggak jelas aja tiap harinya. Aksa enggak paham, dia itu bukan tokoh utama, tapi muncul paling lama. Herannya, dia itu penokohannya mau kaya gimana sih! Kesel Aksa! Serius! Aksa itu mau jadi fuckboy yang good looking, apa good boy yang lagi trending? Mana tokoh ceweknya bukan selera Aksa banget lagi, ini sih yang buat cerita niat banget menistakan Aksa!
Aksa keki! Dia itu baik hati, tapi malah disalahgunakan kek gini! Sekali-kali gitu scene Aksa lagi dideketin cewek biar enak gitu, bukan Aksa yang jadi bucin ... enggak kece banget yang buat cerita! Mau banget dibucinin apa gimana! Sekali-kali gitu, biarin Aksa memperlihatkan bakatnya. Kesel Aksa! Saking keselnya sekarang dia nangkring di bengkel Jo buat cuci mata niatnya, tapi malah ditempeli si Salsa. Kurang nista apa coba, dia.

“Sa, jalan-jalan yuk.” Aksa keki. Tolong dong, ini adeknya si Jo ada yang mau adopsi apa enggak! Aksa enggak tahan ditempelin orang Cinderella Complex! Banyak maunya!

“Hayu.” Nah, kan. Mulut Aksa itu emang suka sinkron sama otak busuknya. Dalam hati mencak-mencak, giliran diajak seneng-seneng sama cewek cantik aja mau, enggak mikir tuh ceweknya sehat atau gimana, yang penting cantik! Udah Aksa mah hayu.
Aksa bukan playboy, ya! Bukan pokoknya! Aksa itu bukan badboy, fuckboy apalagi playboy, serius deh. Aksa itu malah senang berteman, apalagi sama perempuan. Beda, kan!

Di lain sisi, Aira tengah terduduk diam di kursi yang ada di kamarnya. Terhitung, seminggu sudah semuanya kembali seperti sebelumnya, di mana Aira hanya berdiam diri di kamar ditemani cerita-cerita yang dibacanya hanya untuk sejenak menghilangkan sepi yang dia rasakan. Dengan lagu-lagu yang sengaja Aira putar untuk mengisi kesunyian kamar, tetapi malah menampar keras Aira pada kenyataan. Nyatanya tanpa Aira minta, keadaan seakan mendukungnya untuk selalu mengingat sosok yang biasanya meramaikan notifikasi ponselnya, atau sekedar melayangkan kata-kata yang mungkin bagi sosok itu tak berarti apa-apa, tapi bagi Aira yang sudah mencoba tak memikirkannya tetap saja teringat jelas di ingatannya.

Aira bukan orang yang akan meminta perhatian atau sekedar mengatakan apa yang dia rasakan. Hidup dengan orang yang bahkan tak menginginkan kehadirannya, membuat Aira cukup paham, jika tak ada tangan yang akan terulur untuknya ... dia masih memiliki kedua tangan yang sempurna untuk menolongnya. Rasanya lebih baik jika berdiri di atas kaki sendiri tanpa melibatkan orang lain yang hanya sekedar membangunkannya tanpa menuntunnya.

Itulah kenapa, Aira sangat antipati dengan orang yang mencoba memasuki kehidupannya. Aira takut, sangat takut, jika dia ditinggal sendiri, lagi. Selain itu, dirinya yang kerap kali merasakan penolakan dari orang yang seharusnya menerimanya, membuat dia merasa tidak layak untuk berdiri di samping siapa pun. Penarikan diri yang Aira lakukan justru membuat orang-orang jadi segan, sehingga lagi-lagi Aira sendirian.

Belakangan Aira mencoba lagi untuk percaya pada seseorang meskipun kerap kali dia merasa segan, tetapi lagi-lagi agaknya Aira harus menelan kecewa. Namun, Aira sekarang sadar. Jika pun ada yang peduli padanya, mereka hanya sekedar ingin tahu. Setelah mereka bosan dengan sikap dan sifatnya, mereka akan berlalu. Begitulah cara kerja pertemuan dan perpisahan di hidupnya, seharusnya Aira sadar, tetapi Aira masih manusia, bukan.

Hingga saat Aira keluar rumah untuk membuang sampah, di saat itu pula orang yang belakangan tak memunculkan batang hidungnya, berdiri di depan gerbang rumahnya. Tak ingin membuang waktu untuk sekedar berpikir ulang apa yang akan dikatakannya saat bertemu ... Aira langsung saja menghampiri orang yang tak seharusnya dia temui, setidaknya, tidak secepat ini. Tidak di saat, Aira sedang merasa lelah dan muak sekali.

“Gue enggak mau ketemu sama lo, lagi.” Aira menatap lurus ke depan.

Aksa mengernyitkan keningnya, tak menyangka akan disambut seperti itu oleh Aira. “Kenapa? Udah balikan sama si Vino?” tanya Aksa mengingat apa yang dikatakan Vino sebelumnya.

Sontak Aira langsung menatap Aksa. “Ini enggak ada hubungannya sama dia.” Aksa bisa melihat keterkejutan sekaligus kejujuran di mata Aira.

Mereka saling tatap beberapa saat, seolah menyelami perasaan dan pemikiran mereka masing-masing.

“Kak,” panggil Aksa yang tak sedikit pun melepaskan pandangannya dari Aira.

“Jangan deket-deket sama gue. Gue enggak butuh temen.” Aira mengerjapkan matanya, mengusap matanya dengan kasar untuk menghalangi sesuatu yang mendesak keluar. “Gue harap lo, ngerti.”

“Gue ngerti, tapi lo juga harus ngerti. Rasanya pergi, tapi bukan keinginan hati itu ... juga nyiksa diri.” Aksa mendekat, menepuk puncak kepala Aira pelan. “Maaf,” kata Aksa sebelum menarik Aira ke pelukannya. “Kalau capek istirahat, jangan mikir yang enggak-enggak. Kalau gue ada salah, gue minta maaf,” kata Aksa sebelum dia melangkah pergi.

*

**


Aksa tidak bisa tidur dengan tenang, wajah Aira seakan melekat erat di ingatannya. Tepat di ujung anak tangga, Aksa menghentikan langkahnya saat melihat Zack berdiri di depan pintu dengan muka kuyu. Melihat tas hitam serta pakaian ayahnya, Aksa cukup tahu bahwa Zack baru pulang dari kantornya.

Mereka saling menatap beberapa saat, sebelum Aksa berlari ke arah Zack yang limbung. Dengan sigap Aksa memapah tubuh ayahnya. Sesak merayap saat Aksa membaringkan tubuh ayahnya di atas sofa yang paling besar di sana. Pikirannya berkecamuk. Apa lagi ini?

Mencoba tetap tenang, berulang kali Aksa menghela nafas panjang. Zack memejamkan matanya, tetapi masih sadar saat Aksa menjauhinya, tenaganya hilang bahkan untuk berbicara pada Aksa pun dia tak kuasa.

Aksa mengambil kunci mobil Zack yang jatuh dan memanggil penjaga rumahnya untuk mempersiapkan mobil. Zack sempat membuka matanya saat Aksa menuntunnya ke luar rumah. “Aksa enggak tau harus apa,” gumam Aksa yang masih terdengar oleh ayahnya.

Mang Mamat, penjaga rumahnya membantu Aksa menuntun Zack memasuki mobilnya. Di rumah hanya ada Aksa dan mang Mamat, pembantu yang lain sedang cuti dan di saat seperti ini Aksa merasa dirinya semakin tak berguna lagi.

“Ayah enggak apa-apa,” lirih Zack setelah dia didudukkan di kursi belakang dengan Aksa di sampingnya sedangkan mang Mamat menjadi sopirnya.

“Jangan bicara sama Aksa,” timpal Aksa tak ingin menatap ayahnya. Percayalah, saat ini Aksa merasa teriris, tetapi Aksa tidak ingin menangis dan mendengar ayahnya berbicara dengan lemah seperti itu membuat sesak di dadanya semakin menjadi-jadi saja.

“Aksa, maafkan Ayah.”

Aksa mendongakkan kepalanya menghalau air yang ingin keluar dari matanya. “Ayah harus sehat.”

Masih di dengar oleh Aksa suara ayahnya yang berkata iya. Sebelum Aksa dikagetkan dengan tubuh ayahnya yang terjatuh ke pangkuannya. Aksa tanpa sadar meneriaki mang Mamat untuk segera menuju rumah sakit. “MANG CEPETAN! TABRAK AJA YANG NGEHALANGIN JALAN!”

Aksa mengepalkan tangan, meredam kekesalan di antara kekalutan. Sangat ingin memakai! Sialan! Kenapa masalah sepengecut itu! Datang tanpa berkabar, bukannya sendirian malah keroyokan! Apa masalah enggak berani datang satu-satu! Dikira Aksa kuat banget, gitu!

°°°
Tertanda, cerita ini milik D

AiRaksa ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang