Aksa CH3COOH Sama Aira

256 64 17
                                    

Aksa masih tertawa saat Aira keluar dari rumah Sesi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aksa masih tertawa saat Aira keluar dari rumah Sesi.

“Pulang, Kak?” tanya Aksa pada Aira yang berdiri di samping tempat duduknya. Aksa hanya mendongakkan kepalanya tidak berniat untuk berdiri sama sekali.

“Iya.”

“Oh, rumah kita belum jadi Kak. Di sini aja dulu, ya.” Aksa nyengir seraya menyandarkan punggungnya ke kursi yang terbuat dari rotan yang ada di teras rumah Sesi.

Aira membuang muka dan meninggalkan Aksa begitu saja menuju motornya. Aksa tergelak dan berlari kecil menyusul Aira. “Buru-buru amat Kak, enggak sabar ke pelaminan bareng gue, ya.” Aksa dengan tidak tahu dirinya malah membonceng di motor Aira.

Aira menoleh ke belakang. Netra hitamnya melotot. “Lo mau apa!”

Aksa nyengir. “Ikutlah.”

“Turun!”

Aksa menggeleng, ekspresi mukanya mendatar. “Gue ikut Kakak atau Kakak ikut gue.”

Aira turun dari motornya dan menarik tangan Aksa agar turun dari motornya, tetapi remaja laki-laki itu malah maju ke depan dan menyalakan motor Aira. “Hayu,” ajak Aksa yang kini memasang senyum bahagia.

“Perlu banget gue bopong nih, Kak.” Aksa menyeringai. Mau tak mau, Aira pun menuruti remaja laki-laki itu.

Aksa tertawa. “Gitu dong, dari tadi,” kata Aksa dengan tangan gatalnya yang mencuri cubitan di hidung Aira yang langsung menggeplak tangan Aksa. Aksa tertawa dan mulai menjalankan motor Aira.

“Aksa.”

Aksa diam.

“Aksa.”

Aksa masih diam.

Plak

“Aw.” Aksa melirik kaca spion yang memperlihatkan wajah cemberut kakak kelasnya.

Aksa tersenyum sambil sebelah tangannya mengusap belakangan kepalanya yang jadi sasaran Aira. “Gue kira siapa yang panggil gue. Ada apa Kak?”

“Mau makan bakso.”

Aira melihat ke belakang, lebih tepatnya ke kedai bakso yang sudah terlewat beberapa meter. Rasa laparnya lebih penting daripada rasa kesalnya pada Aksa yang seenaknya.

Aksa menepi, jalanan yang cukup sepi membuatnya dengan mudah balik arah lagi. Setelah sampai, Aksa tidak turun dari motor, masih duduk di atas motor, Aksa menahan tangan Aira dan mengeluarkan dompetnya. “Tadi aja buru-buru pulang, kenyataannya laper juga, kan,” sindir Aksa sambil menyerahkan uang seratus ribu kepada kakak kelasnya itu.

Saat Aira akan memprotes, Aksa lebih dulu menuntun Aira memesan bakso. “Kakak yang pesen, gue tunggu di sana,” kata Aksa sambil menunjuk salah satu meja yang kosong. “Jangan cemberut, nanti gue suka,” lanjut Aksa tertawa kecil saat meninggalkan Aira yang memesan baksonya.

Masih dengan muka tertekuk, Aira duduk di depan Aksa. “Nih.” Aira meletakkan uang Aksa di meja. “Duit lo enggak laku.”

Aksa menahan kedutan di bibirnya. “Masa, sih?”

“Enggak percaya ya udah,” balas Aira memilih meletakkan kepalanya di atas meja tanpa bertumpu pada tangannya.

Aksa tertawa. “Lo bohong aja gue percaya Kak.”

“Gue yang enggak percaya,” kata Aira yang justru membuat Aksa tergelak.

Aira membalikkan kepalanya masih dengan posisi yang sama, rambutnya yang panjang mengenai sambal yang disediakan di atas meja.

“Duduk yang bener kenapa.” Dengan sabar Aksa merapikan rambut Aira. “Kak, jangan gitu duduknya,” kata Aksa lagi karena Aira masih dengan posisi yang sama.

Aira dengan malas menegakkan tubuhnya. “Ngantuk,” adu Aira dengan mata yang dia kerjap-kerjapkan.

Aksa tersenyum, menyisir rambutnya dan bertanya, “Mau pulang aja?”

Aira menatap penjual bakso yang menghampiri meja mereka. “Enggak, laper.” Aksa tergelak.

Kini dua porsi bakso tersedia di atas meja. Aira yang pada dasarnya lapar, langsung menarik jatahnya. Tangan kurusnya menyambar botol kecap dan memasukkannya satu tetes, memasukkan goreng bawang tambahan yang sengaja Aira banyakkan, menuang sambal satu sendok, ditambah sedikit saus, dan hal terakhir yang Aira lakukan selanjutnya membuat Aksa menaikkan sebelah alisnya.

“Kak, lo suka cuka?”

Aira mendongak menatap Aksa. “Iya.”

Aksa menyeringai. “Gue juga.”

“Suka cuka?”

“Iya, gue CH3COOH sama Kakak.”

“Hah?” Aira.

Aksa terbahak. “Enggak, makan Kak baksonya.”

Njil! Krik banget gue. Batin Aksa.

“Lo cuka sama gue, maksudnya?” Aira menatap Aksa, menunggu jawaban lebih tepatnya.

Aksa menyisir rambutnya. “Doa makannya mau gue bacain aja?”

Aira masih menatap Aksa. “Enggak, ya.” Aira peka kok, Aksa emang sekedar ngomong aja, mana ada remaja laki-laki itu suka sama dia, kan, jika pun Aksa mengatakannya pasti Aksa bercanda.

Ini gue salah ngomong enggak, sih? Batin Aksa.

“Gue suka Kakak, emang Kakak enggak tau?”

“Hah?”

Aksa diam, baiklah, Aksa serba salah. Ngomong salah, enggak ngomong salah. Aksa berdoa, semoga ...

“Aksa, bacain.”

Belum sempat Aksa berdoa, Aira minta dibacain juga. Aksa bacain jaran goyang aja gimana? Gemes Aksa tuh. Meskipun begitu Aksa tetap menuruti perkataan Aira. Setelah berdoa mereka makan bakso dalam diam.

“Langsung pulang?” tanya Aksa setelah bakso mereka habis tak tersisa.

Aira mengangguk. Aksa tanpa sungkan menggandeng tangan Aira menuju motornya dan Aira tidak menolak. Tak lama, mereka sampai di depan gerbang rumah Aira.

“Bawa aja motornya,” kata Aira saat turun dari motornya.

Aksa tertawa. “Enggak usah Kak, gue udah minta temen buat jemput.”

Dahi Aira mengerut dalam. “Ngerepotin, tau gitu gue pulang sendiri aja.”

Aksa berdiri di depan Aira. “Yang penting Kakak selamat sampai tujuan.” Melihat rambut Aira yang sedikit berantakan, Aksa dengan lancang melarikan tangannya untuk merapikan. “Masuk, tidur, jangan mimpiin gue,” lanjut Aksa.

“Kenapa?” tanpa disangka pertanyaan itu diucapkan Aira.

Aksa tertawa. “Biar gue aja yang mimpiin Kakak.” Aira memalingkan muka. “Kakak lagi PMS, ya?” tanya Aksa dengan polosnya.

°°°
D enggak paham kenapa bisa tulis ini. Udah itu aja, enggak paham.

Tertanda, cerita ini milik D

Tertanda, cerita ini milik D

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AiRaksa ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang