End For Us

442 44 41
                                    

Aira menyelesaikan masa SMA-nya dengan belajar. Belajar di sekolah dan mulai belajar tentang keyakinannya. Semuanya bisa berubah, tak ada yang tau akan seperti apa ke depannya, dan Aira selalu berusaha untuk berubah ke arah yang lebih baik dalam menjalani hidupnya. Usianya masih terbilang muda untuk lebih mementingkan cinta, tapi memiliki Aksa sebagai temannya, terasa cukup untuknya.

Aksa sendiri selalu berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik di setiap waktunya. Satu tahun tertinggal kelas karena depresinya, kini Aksa belajar lebih keras untuk mendapatkan nilai yang memuaskan karena pada dasarnya Aksa itu memang pintar. Di usianya yang terbilang muda, Aksa memilih memfokuskan diri untuk membahagiakan Zack yang sudah membesarkannya. Masih berhubungan dengan Aira, cukup menyenangkan untuk dirinya yang memilih menjadi jomblo karena ketika malam Minggu tiba, mereka bisa jalan bersama dan paginya Aksa akan mengantar Aira ke gereja.

Intinya mereka menikmati kebersamaan mereka sebagai teman. Seperti sekarang. Aksa dengan segala inisiatifnya mengajak Aira jalan-jalan keluar.

“Capek,” kata Aira saat mereka baru saja menduduki kursi taman dekat perumahan Aira.

Aksa justru tertawa riang, benar-benar! Makna jalan-jalan bagi Aksa itu jalan beneran! Jalan kaki tanpa kendaraan! Katanya sih, mau berduaan biar romantis dikit meskipun enggak pacaran, tapi bukan jalan kaki berdua sambil gandengan juga, kan!

“Baru aja diajak jalan bentar, udah ngeluh. Gimana kalau gue ajak jalan ke pelaminan dan jalan bareng mengarungi kehidupan,” kata Aksa dengan jahilnya.

Aira berdecak, tanpa sungkan dia menabok kaki Aksa yang dibalut celana jeans hitam. “Enggak usah baperin anak orang,” kata Aira menyembunyikan perasaan senangnya.

Aksa tergelak. Tanpa aba-aba dia merangkul bahu Aira. “Gemes banget, minta gue halalin apa gimana.”

Aira tertawa kecil menanggapinya. Mereka terdiam dengan posisi Aira masih dalam rangkulan tangan Aksa. Menatap matahari sore yang tak begitu disukai Aksa, bukan apa-apa, Aksa hanya tak suka waktunya bersama Aira harus berakhir saat gelap tiba.

“Ra, menurut lo masa depan itu apa?” tanya Aksa tanpa dipikirkan sebelumnya.

Aira bahkan langsung memalingkan mukanya, dan kini mereka saling bertatapan. Tanpa kata mereka seolah berbicara.

Setelah meresapinya, Aira pun berkata tanpa mengalihkan pandangannya. “Masa depan ... entah, gue ngerasa perpisahan itu nyata, waktu terus berputar dan gue terus berjalan mencari titik pusat putaran waktu yang sebenarnya, di saat itulah gue membayangkan perpisahan demi perpisahan, pertemuan demi pertemuan. Gue enggak yakin masa depan itu apa, ma spero che tu sia , nel futuro e nel presente.”

Aksa mengernyitkan keningnya. “Lo ngomong apa sih, Ra? Bisa bahasa manusia aja enggak? Bahasa lo sulit dicerna.”

Aira berdecak sebal. “Itu juga bahasa manusia,” katanya sambil melepaskan rangkulan tangan Aksa.

Aksa mengerutkan keningnya, baru kali ini dia mendengar Aira berbicara menggunakan bahasa yang tidak bisa dimengertinya. Tiba-tiba Aksa berpikir yang tidak-tidak.

Menggelengkan kepalanya, Aksa membenarkan posisi duduknya. “Iya tau, tapi gue enggak ngerti,” ujar Aksa pada akhirnya. Aira diam, dia hanya menatap Aksa.

“Lo enggak mau tau gitu, masa depan buat gue itu apa?” lanjut Aksa sambil mengerlingkan matanya karena tak menyukai suasana hening di antara mereka. Mau tak mau Aira tertawa melihatnya. “Emang apa?”

“Bertudung langit, dengan lo di bawahnya,” kata Aksa yang justru tergelak sendiri mendengar ucapannya.

Keesokan harinya, Aksa mengajak Aira berkumpul di tongkrongannya. Mereka saling bercanda dan membicarakan apa saja. Teman-teman Aksa juga menerima Aira sebagai bagian dari mereka. Intinya, Aira kini bagian dari mereka selain pacar-pacar anggota raksa lainnya.

“Sarungnya enggak bawa?” Aira mengerjapkan matanya dan melirik remaja laki-laki yang kini nyengir di sampingnya. Aira menggelengkan kepalanya, sebelum menoleh ke arah Mita yang kini sedang duduk berjauhan dengan Angga.

“Ga? Bawa sarung dua?” tanya Aira pada Angga.

Angga menggeleng. “Ra, temen kamu enggak mau deket-deket saya kenapa?” tanya Angga menatap nanar Mita yang duduk di ujung jauh darinya.

“Bukannya lo udah wudu ya, ngapain deket-deket?” Aira balik bertanya dan Angga dengan bodohnya malah menggaruk kepalanya.

“Lupa saya, khilaf terus bawaannya,” jujur Angga yang membuat Mita bersemu di tempatnya. Di antara yang lainnya, hubungan Angga dan Mita yang paling sukses karena setelah masuk universitas yang sama mereka memilih bertunangan.

“Nikahin mangkanya,” celetuk Deon. Angga tertawa kecil dan mengedipkan sebelah matanya pada Mita. “Segera, doain ya.”

Alex dan Brian tertawa melihatnya. “Keduluan gue, baru tau rasa,” kata Agil yang mengundang tawa.

“Kita nikah belakangan aja ya, Yon,” sambar Tasya tanpa mengalihkan pandangannya dari setiap coretan tangan Vino.

Deon mendengus saat semuanya menertawakannya. “Enggak sudi nikah sama lo!”

Tasya tergelak, sedikit melirik pacar paksanya itu sebelum menatap hasil akhir dari coretan tangan Vino. “Weh, ini sih gila keren banget! Calon arsitek kita nih!” Tasya tanpa permisi mengangkat tinggi-tinggi hasil coretan Vino agar semuanya dapat melihatnya. “Gue pindah ke lain hati aja, ah,” lanjutnya.

Vino terkekeh geli, lain hal dengan teman-temannya yang menertawakan perkataan Tasya itu, Deon malah menarik tangan Tasya untuk duduk di sampingnya. “Enggak usah genit!”

Tasya tertawa puas. “Gue genit juga sama temen lo,” kata Tasya yang dibalas delikan tajam pacarnya.

“Tau temen gue juga, si Aksa masih lo embat,” sindir Deon. Tasya tertawa, Deon yang mengungkit-ungkit masa lalu baginya hal biasa ... Tasya malah senang, dengan begitu dia tau Deon memiliki rasa padanya, meskipun entah perasaan apa.

“Bang, lo enggak ada niat cari pacar?” tanya Alex tiba-tiba pada Brian yang tengah menggesek biolanya.

“Enggak, gue mau cari duit yang banyak,” jawab Brian kelewat santai.

Alex tertawa, pasalnya setelah mereka jatuh cinta pada orang yang sama, bule kesasar yang kini menghilang. Brian menjadi orang yang paling cuek soal perasaan. Banyak yang menyukainya, tapi Brian kukuh mengatakan jika dia ingin cari uang yang banyak dan tidak memiliki waktu untuk berpacaran.

“Gue jatuh cinta, Bang.” Pengakuan Alex tersebut langsung menghentikan kegiatan Brian.

Menoleh, Brian berkata, “Wajar, lo masih manusia, kan.” Menaruh biolanya, Brian menghampiri Alex dan menepuk bahunya. “Lanjut sekolah yang bener, cari duit yang banyak. Kasih makan anak orang itu mahal,” ujar Brian yang membuat Alex mengerjapkan matanya sebelum tertawa terbahak-bahak yang sukses mencuri perhatian manusia lain di sana.

Mereka hanya bisa menerka-nerka apa kiranya yang kedua bersaudara itu bicarakan karena suara azan terdengar dan Angga berkata, “Sholat dululah.” Yang disetujui semuanya.

“Ganteng ya, gue?” tanya Aksa saat netranya melihat Aira tengah menatapnya. Aira tersenyum. “Jelek,” ejek Aira.

Aksa memasang muka konyolnya yang membuat Aira tergelak. “Wudu yang bener, enggak usah lirik-lirik,” kata Aira dengan jahilnya.

Aksa tergelak, kebiasaannya jika sedang wudu mencuri-curi pandang, siapa tau ketemu bidadari. Aira tahu itu karena sempat melihatnya di tempat wudu terbuka di sekolah mereka sebelumnya. “Udah enggak lagi kok semenjak sama lo,” kata Aksa menggoda Aira.

“Bucin,” ejek Aira tak termakan omongan Aksa. Dia sudah lebih dari sekedar terbiasa.

Aksa melipat tangan bajunya sambil tertawa. “Gue enggak bucin ya, kecuali sama lo.”

Aira dengan gemas memukul kaki Aksa. Yang membuat remaja laki-laki itu semakin terbahak-bahak. “Cie, baper!”

Mereka berdua asyik saling menertawakan, yang lain seperti kasat mata bagi keduanya. Mereka yang telah tau cerita hidup keduanya, hanya bisa ikut berbahagia. Vino yang memiliki label mantan Aira pun, juga mendoakan yang terbaik untuk keduanya. Angga dengan bijak berpesan, “Jangan lupa bahwa kita manusia biasa dan jangan pula lupa siapa pemberi cinta dan pemilik cinta sebenarnya. Yaitu, Tuhan Yang Maha Esa.”


Tamat

Versi wattpad selesai, finally D up lagi.

AiRaksa ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang