Manusia

170 49 65
                                    

Lagi-lagi tanpa Aira mau, tangisnya pecah saat sampai di rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi-lagi tanpa Aira mau, tangisnya pecah saat sampai di rumah. Aira merasa dirinya jahat, dan sangat bersalah karena tidak mengatakannya, meskipun Aira juga tidak sepenuhnya salah karena orang lain tidak bertanya kepadanya. Namun, Aira sangat kecewa pada dirinya yang lagi-lagi terbawa perasaan padahal dia sendiri tau akhirnya akan menyakitkan.

Aira juga tengah memikirkan perkataan Desi padanya, Desi memaki dirinya dan memaksa Aira ikut kepercayaannya. Aira kalut. Desi memang sering memarahinya, tetapi semalam adalah yang terparah. Aira pikir Bundanya itu sedang lelah, mangkanya Aira diam saja, tetapi meskipun begitu semua perkataan Desi selalu terngiang-ngiang di benaknya. Memang, Aira seharusnya sudah terbiasa, tetapi bukan berarti karena Aira terbiasa ... dia pantas mendapatkan luka, kan.

Aira menangis tergugu di ruang tamu, tidak menyadari Desi yang kini menatapnya.

“Aira, ada apa?”

Aira tersentak saat dia tiba-tiba mendengar suara Desi menanyainya. “Enggak apa-apa Bun.” Dengan cepat Aira mengusap wajahnya, percuma saja karena Aira masih sesenggukan.

“Kenapa nangis?"

Mendapat pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya, lagi-lagi air mata Aira meluncur tanpa diminta. Desi melihat sesuatu yang tengah digenggam Aira. Menghela nafas panjang, Desi duduk di samping Aira. 

“Maaf jika semalam Bunda sangat memaksa kamu, Aira,” ujar Desi. Dia menghembuskan nafas lega karena akhirnya dia bisa meminta maaf juga, dia sadar dari pertengkaran semalam bahwa dia telah lebih dari sekedar keterlaluan hingga dia merasa bersalah dan ingin memperbaiki hubungan mereka yang tidak pernah baik-baik saja.

“Bunda tidak akan memaksa lagi, tapi maaf jika Bunda tidak bisa berbuat apa-apa dengan pilihanmu itu, Aira.”

Aira menundukkan kepalanya, paham benar bahwa selama dia tinggal bersama Desi, Aira tidak lagi pergi ke gereja atau hanya untuk sekedar berdoa saja, dia tidak melakukannya. Saat Natal tiba pun Aira tak bisa melakukan apa-apa karena Desi dan seluruh pegawainya jelas tak seiman dengannya. Lagi-lagi Aira teringat sosok ibu kandungnya, dialah satu-satunya orang yang pernah mengajarinya dan mengajaknya ke gereja.

Aira sadar bahwa dia berbeda bahkan di lingkungan keluarganya. Almarhum ayah dan kakaknya jelas seiman dengan Desi. Ibu kandungnya yatim piatu, tak memiliki saudara sama sekali dan sekarang dia bingung sendiri. Beberapa kali melihat Desi atau pegawainya melakukan kewajiban, Aira pun tergerak untuk melakukan hal sama, tetapi Kepada Tuhannya.

“Maafkan Bunda Aira, Bunda merasa gagal sekali. Mungkin kamu berpikir Bunda tak menerimamu di sini, Bunda mengerti. Bunda juga sering kali mengeluarkan kata-kata yang tak pantas seorang Ibu ucapkan kepada anaknya.” Desi menghela nafas panjang.

“Bunda minta maaf Aira, atas semua perlakuan Bunda yang kasar terhadap kamu.” Desi menggenggam tangan Aira.

“Bunda sangat kecewa dan melampiaskannya semuanya kepada kamu yang tidak tau apa-apa, tapi Bunda selalu berusaha untuk bisa memulai semuanya dengan kamu, tapi sulit sekali. Semalam Bunda ingin memulai semuanya, tetapi lagi-lagi ....” Air mata meluncur begitu saja saat mengingat perlakuan kasarnya pada Aira.

“Bunda selalu berusaha menerimamu di sini dan mencoba berbicara denganmu, tetapi semua usaha Bunda selalu berakhir dengan pernyataan menyakitkan yang tanpa sadar Bunda lontarkan.” Desi sangat mengingat jelas perlakuan buruknya terhadap Aira, yang notabenenya adalah anak suaminya dengan istri keduanya.

“Maafkan Bunda Aira.”

Desi menghela nafas. “Bunda ingin merasakan merawat dan mendidik anak Bunda sendiri Aira, tanpa sadar Bunda sangat egois dengan memaksamu untuk sama seperti Bunda. Saat Bunda melahirkan Aren ke dunia, Bunda tidak bisa merawatnya, Ayah dan Ibumu membawanya. Kakakmu itu ... tidak pernah merasakan kasih sayang Ibu kandungnya.”

Desi mengusap air matanya. “Belasan tahun berlalu, setiap harinya Bunda merindukan Kakakmu. Saat Bunda ingin bertemu, justru kamu dan Ibu kandungmu lah yang datang pada Bunda dengan berita kematian suami dan anak Bunda. Kamu juga pasti berduka, tetapi Bunda sangat merasa kecewa dan terpukul untuk bisa menyadarinya.”

Nafas Desi tersengal karena menahan isakan. “Semuanya terasa semakin sulit Bunda terima saat Ibu kandungmu juga ikut menyusul mereka. Meninggalkan kamu bersama Bunda yang belum bisa menerima kamu sepenuhnya.” Bahu Desi berguncang. “Meminta maaf saja tak cukup rasanya, Aira ... Bunda paham jika kamu terlanjur membenci Bunda. Namun, beri Bunda kesempatan merawat anak Bunda sendiri, kamu anak Bunda satu-satunya, Aira. Bunda mohon, bantu Bunda agar bisa menjadi seorang Ibu yang sebenarnya.”

“Aira minta maaf.” Dari sekian banyak kata yang ingin disampaikan Aira pada Desi hanya itulah yang sanggup diucapkannya.

***

Apa yang kamu harapkan dari sebuah hubungan yang tidak memiliki landasan. Ayolah, yang seiman dan saling sayang saja bisa renggang, yang setujuan dan sudah membicarakan masa depan saja bisa putus di tengah jalan, bahkan yang sudah ke jenjang pernikahan saja bisa cerai. Aksa bisa apa jika cintanya Kepada Tuhan lebih besar daripada inginnya memiliki si doi yang membuatnya bimbang.

Aksa memang bukan manusia suci, bisanya hanya menahan diri untuk tidak memacari semua perempuan yang didekati. Tujuannya hanya satu, membantu temannya agar mendapatkan pasangan yang memang tulus tanpa bisa pindah ke lain hati. Soal dirinya sendiri, ah dia tidak peduli. Jika dia saja pernah berniat bunuh diri berkali-kali bahkan sampai melakukan psikoterapi, dan sampai sekarang masih mencoba memperbaiki diri, agaknya memikirkan hubungan yang belum pasti itu berada dalam daftar akhir di hidupnya, tetapi saat bertemu Aira ... Aksa ingin memilikinya.

Tidak ada yang tau jika seorang Aksa adalah anak hasil kecelakaan, kasarnya, dia anak haram dan memiliki Ibu yang jelas-jelas tidak menginginkannya membuat Aksa sering membuat kekacauan. Namun, selalu ada orang yang baik bukan? Ya, dia Zack. Orang mengenalnya sebagai Ayah dari Aksa, nyatanya tidak begitu.

Zack hanya orang yang terlalu baik pada Ibunya, yang notabenenya adalah sahabat yang dicintainya. Ayolah, siapa manusia yang rela mengurus anak yang bukan darah dagingnya, mungkin ada, tapi adakah yang mau mengurus anak yang bukan darah dagingnya dan Ibunya yang tidak menginginkannya malah memilih pergi dengan lelaki lain, tanpa mengindahkan keberadaan orang yang rela meninggalkan nama besar keluarganya demi dirinya dan mengurus anaknya. Ada? Ya tentu ada! Zack orangnya. Laki-laki yang sampai kini memilih melajang demi Aksa seorang.

Dengan segala usahanya, Zack bisa membesarkan Aksa dan membuatnya lebih sehat dan menghargai hidupnya. Meskipun tidak sepenuhnya sembuh, keinginan mati sering kali menghampiri Aksa di saat sendiri. Zack, wajah itu yang sering kali menggagalkan rencana bunuh diri Aksa, meskipun benar dia sedari lahir saja sudah menjadi kesalahan, tetapi Aksa tak pernah ingin menjadi kesalahan untuk Ayahnya, Zack, meskipun Aksa tidak yakin jika hidupnya berguna atau tidak untuk Zack, tapi mengingat semua pengorbanan Zack untuknya, rasanya tak pantas jika Aksa mengakhiri hidupnya sesuka hati. Aksa merasa hidupnya kini sepenuhnya milik Zack, sudah seharusnya Aksa membalas semua kebaikan Ayahnya itu, walau tidak bisa, setidaknya Aksa berusaha untuk tidak mengecewakan Ayahnya ... Aksa berusaha keras memperbaiki hidupnya.

°°°
Ketika D berpikir D udah selesai sama semuanya, enggak guna, dan enggak punya harapan ... selalu ada orang yang peduli sebenarnya.

Tertanda, cerita ini milik D

Tertanda, cerita ini milik D

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AiRaksa ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang