Bisa-bisanya Bucin

180 54 14
                                    

Setelah  melewati perjalanan yang harusnya sebentar, tetapi terasa lama bagi Aksa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah  melewati perjalanan yang harusnya sebentar, tetapi terasa lama bagi Aksa. Kini remaja laki-laki itu terduduk di kursi tunggu di depan ruang pemeriksaan ayahnya. Aksa tau dia bukan satu-satunya manusia yang benci gedung berwangi obat itu. Namun, tetap saja Aksa ingin memaki! Memaki orang yang sengaja membuat cerita hidupnya banyak drama seperti ini!

“Sa,” panggil pria seusia ayahnya, yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, membuat Aksa menghampirinya dengan cepat.

“Ayah dehidrasi lagi?”

Bram, seorang dokter yang telah lama menjadi sahabat Zack itu tertawa ringan. “Ya, seperti biasa.”

Seorang perawat keluar dan menyerahkan laporan kesehatan ayahnya. Setelah perawat itu pamit, Bram mengajak Aksa ke ruangannya.

“Ah, sepertinya kali ini tidak seperti biasa,” kata Bram sambil menaruh apa yang tadi dibacanya di atas meja.

Menghembuskan nafas, Bram menautkan tangannya di atas meja. “Cukup berbahaya jika Ayahmu itu masih gila kerja, dan melupakan kebutuhan tubuhnya.”

Aksa bersedekap, dan menunjukkan gesture seriusnya. “Langsung ke intinya aja Om,” pinta Aksa tanpa nada memerintah sama sekali.

“Dehidrasi kali ini memicu hipertensi, harus istirahat total jika tidak ingin berakibat fatal.”

Aksa menanggung mengerti, sekarang Aksa merasa tak sia-sia masuk MIPA karena di saat begini, ternyata berguna, Aksa jadi tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk bertanya dan tidak perlu memendam rasa ingin tahu  karena malas bertanya tentang istilah medis dan segala penyebab serta risikonya. Seketika Aksa merasa paling pintar sedunia. Kenapa? Suka-suka Aksa dong! Kalau salah-salah kata ya, maaf aja!

“Rawat inap, ya,” konfirmasi Bram yang diangguki Aksa.

“Om.” Aksa nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kekalutannya hilang saat ingat dompetnya ketinggalan.

Bram berdecak, sebelum mengeluarkan dompetnya. “Kebiasaan kamu, Sa.” Menyodorkan kartu yang sudah dikenal Aksa dengan benar, Bram kembali buka suara. “Kali ini bawa uang berapa kamu?”

Aksa tertawa. Tangannya mencomot kartu yang disodorkan Bram untuk mengurus pembayaran sebelum menjawab, “Sepuluh ribu,” ujar Aksa yang mengundang decak dari Bram.

***

Subuh setelah melaksanakan kewajiban, Aksa berkeliling mencari sarapan. Sudah lupa dia akan kesedihan, toh sebelum dia keluar Zack sudah sadar dan merumpi dengan Bram yang memilih tidak pulang, Aksa maklum karena Bram itu memang masih sendirian sampai sekarang. Jadi, bisa Aksa simpulkan bahwa Bram itu bukan setia kawan, tapi emang kesepian. Tidakkah Aksa terdengar kejam?

Menemui pedagang nasi uduk yang sedang berjualan, Aksa tiba-tiba teringat akan Aira yang permintaannya masih menjadi beban pikiran Aksa. Aira udah sarapan belum, ya? Batin Aksa.

Merogoh saku celananya, Aksa tak menemukan ponselnya. Tertawa, Aksa lupa jika dia tak membawa apa-apa, selain uang sepuluh ribu yang menyempil di celananya. Akhirnya, beli sarapan pun tidak jadi, dan Aksa memilih kembali ke ruangan ayahnya.

“Mending lo seriusin aja Dean, Zac. Biar lo ada yang urus.” Suara Bram menghentikan keinginan Aksa untuk masuk ke dalam ruangan.

“Dean juga udah ok, lo udah punya anak,” lanjut Bram.

“Saya enggak mikirin itu.” Kali ini suara serak ayahnya yang terdengar oleh Aksa.

“Lo harus mulai mikirin, lo enggak bisa terus sendirian. Aksa juga butuh sosok Ibunya. Lo jelas lebih tau kondisi Aksa.”

“Saya bisa urus diri sendiri dan Aksa juga sudah besar, saya bisa jadi Ayah dan Ibu untuk dia. Lagi pula, yang harusnya mikirin nikah itu kamu, bukan saya.”

Terdengar suara kursi yang digeser. “Gue angkat tangan, capek juga ngomong sama lo. Yang penting sebagai sahabat, gue udah saranin. Sebagai dokter, gue harap lo lebih bijak sama kesehatan lo yang mana lo enggak sendirian, tapi Aksa butuh lo sebagai Ayah sekaligus Ibunya, kaya yang lo bilang.” Lalu suara langkah mendekati Aksa.

“Nguping kamu,” ujar Bram saat melihat Aksa berdiri di depan pintu.

Aksa menaikkan sebelah alisnya. “Mau sarapan, enggak ada uang,” kata Aksa mengalihkan.

Bram tertawa. “Mau masuk atau sarapan?” tanya Bram sambil melangkah menuju kantin rumah sakit.

“Sarapan, tapi di luar.” Aksa menyusul Bram yang kembali tertawa dan memutar arah langkahnya.

“Banyak maunya kamu.” Meski demikian sahabat Zack itu menuruti keinginan Aksa untuk sarapan di luar. Bram tau, Aksa ingin berbicara serius dengannya.

°°°
D enggak ada maksud apa-apa tulis ini. Maaf ya, terima kasih buat yang baca.

Tertanda, cerita ini milik D

AiRaksa ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang