Beda itu Susah Juga

192 50 39
                                    

“Itu Aira kan, belakang dia jalan sendiri dan balik sama si Mita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Itu Aira kan, belakang dia jalan sendiri dan balik sama si Mita. Katanya si Aksa udah enggak mau sama dia.”

“Eh, itu tuh Kakak kelas yang deketin Adik kelasnya.”

“Kasian, ya.”

“Lagi ribut katanya.”

“Rasain deh, gatel sih.”

Sepanjang hari di sekolah, perkataan-perkataan tak mengenakan Aira dengar. Aira bisa saja diam, tetapi beban pikirannya bukan hanya itu hingga Aira memilih tidak pulang dan menangis sendirian.

Kecewa, tentu saja. Aira juga manusia, tetapi orang-orang seperti tidak melihatnya sebagai manusia. Mereka seolah menuntut Aira sempurna tanpa cela.

Aira sudah berusaha sebisa dia untuk tidak berbuat salah, tapi apa daya jika dia juga masih manusia yang sering kali egois saat ingin bahagia. Aira ingin sedikit saja mereka mengerti, jika Aira sedang lelah dan mereka tidak perlu menambah bebannya dengan membicarakan dirinya. Aira merasa tidak ada tempat untuknya saat dia hanya meminta orang-orang menyayanginya. Saat itu pula dia sadar, dia telah jauh dari Tuhan yang senantiasa memberinya kasih sayang.

Tak jauh dari tempat Aira berada, Aksa tengah merana. “Kamu beneran enggak tau, Kas?” Ke sekian kalinya Angga bertanya dan dijawab anggukan Aksa.

Vino menghela nafas panjang. Kini mereka bertiga tengah di lapangan basket yang tidak terpakai, seperti biasanya. Seminggu sudah Aksa bergalau ria di sana, kali ini dia bukan menghadapi penolakan, tapi kenyataan.

“Terus mau lo apa?” Akhirnya, Vino angkat suara setelah seminggu ini dia melakukan aksi puasa bicara, khususnya pada Aksa.

Aksa menjambak rambutnya. “Gue enggak tau apa-apa.”

Vino diam lagi, meskipun pernah jadi mantan dia pun tidak begitu paham. Salah satu alasan yang dikatan Aira memang karena mereka berbeda, tetapi Aira tidak mengatakan lebih jelasnya. Angga yang teman sekelas Aira pun tidak mengatakan apa-apa karena memang dia tidak tau apa-apa. Angga tidak tau, kapan tepatnya Vino berpacaran dengan Aira dan Angga juga tidak tau jika Aksa tidak tau jika Aira berbeda dengan mereka.

“Lo jauhin dia tiba-tiba, pasti dia kecewa. Itu sih yang gue tau.” Suara Brian yang baru menyembulkan kepalanya.

“Sejak kapan kamu di sana?”

Brian mengendikan bahunya. “Lama, gue di depan. Tuh, liatin cewek nangis sendirian.” Brian mengisyaratkan dengan kepalanya di mana cewek yang dimaksudkan. 

Aksa tak angkat suara saat Vino melangkah keluar. Aksa tau siapa yang dimaksud Brian, tetapi Aksa masih belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan.

“Kamu teh serius emang na sama si Aira?”

Aksa menghembuskan nafasnya. “Enggak tau, pusing gue.”

“Gini aja, lo biarin aja si Aira,” kata Brian yang kini membaringkan tubuhnya di samping Aksa.

Angga mendelik. “Naha jadi kitu?”

“Lo deketin dia enggak ada tujuan apa-apa, Sa. Gue enggak tau perasaan lo, tapi yang pasti lo enggak mungkin bareng dia. Sebelum semuanya semakin jauh, you know what i mean, mending lo balik kaya Aksa sebelumnya, yeah, like living just for  fun don’t take it seriously. Kedengarannya emang bajingan, tapi semua orang emang cuma butuh bahagia doang, enggak peduli sendirian atau bareng pasangan.” Yang pasti Brian tidak ingin Aksa tertekan.

“Aira juga jadi bahan omongan orang, kamu mana tau. Saya temen sekelasnya. Kasian.”

***

“Kenapa nangis?”

Aira menoleh lantas mengusap air matanya. “Enggak apa-apa.”

“Lucu ya, Ra. Gue bisa suka sama lo, di saat gue enggak tau apa-apa tentang lo.” Vino menyandar ke kursi dan menatap awan.

Setelah beberapa saat terdiam, Vino menoleh pada Aira yang masih mencoba menghentikan tangisnya. “Lo suka sama Aksa, Ra?”

“Gue salah ya, Vin?” tanya Aira balik bertanya. Untuk beberapa saat mereka saling tatap, sebelum Vino tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Enggak, kalau lo sukanya sama gue,” jawab Vino.

“Vin, gue minta maaf, tapi gue rasa lo bisa dapet yang lebih baik dari gue.”

Vino tertawa getir. “Tau apa sih, lo Ra soal apa yang terbaik buat gue. Gue juga manusia biasa, Ra. Gue enggak sebaik yang lo pikirin.”

“Tapi kita beda Vin.”

Vino membuang muka sebelum kembali menatap Aira. “Apa bedanya gue sama Aksa?”

“Lo nangisin Aksa, Ra. Apa dulu lo juga nangis sendirian kaya gini pas mau putus sama gue?” lanjut Vino bertanya.

Aira menatap mata Vino dengan mata berkacanya, saat itulah Vino tau jawabannya. “Sakit ya, Ra,” gumam Vino, “sama,” lanjutnya.

Aira menundukkan kepalanya. Vino mendongakkan kepalanya sebelum menepuk punggung Aira seolah menguatkan. “Awalnya mungkin sakit dan sulit Ra, tapi nanti juga terbiasa. Bukan terbiasa sama sakitnya, tapi terbiasa buat bersikap biasa aja karena meskipun sakitnya hilang, tapi kita enggak tau kenangan itu datangnya kapan ... saat itu, mungkin aja sakitnya datang lagi, tapi dengan rasa yang mungkin udah beda karena lo udah bisa bersikap biasa aja.”

“Gue capek banget, Vin. Rasanya gue udah enggak mau suka siapa pun, tapi gue enggak bisa halangi rasa suka itu sendiri. Gue kecewa banget sama diri gue sendiri.”

“Lebih baik lo pulang, terus istirahat. Berhenti mikir yang enggak-enggak, kalau lo buat salah itu enggak apa-apa karena lo juga manusia, asal jangan diulangi lagi aja. Yang pasti lo enggak sendirian, Ra.”

“Maafin gue ya, Vin.”

“Lo enggak salah, semuanya emang harus terjadi. Udah jangan nangis lagi, lo kuat Ra.”

°°°
Mau tamat, udah gitu aja. D pusing banget, heran. Ini cerita nyambung enggak, sih🤧
Maafkeun nya.

Tertanda, cerita ini milik D

AiRaksa ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang