A Big Hug for A Big Fall

129K 10.3K 628
                                    

Karin masih lari-larian ke bagian administrasi untuk mengurus pembayaran ambulan dan mengganti rugi infusan yang tadi kami jatuhkan. Yah, kami heboh banget pas bawa Drey naik ambulan. Karin tuh gerak terus karena takut duduk di bagian belakang ambulan. Dia itu fobia sama mayat. Dia takut banget lihat orang atau hewan mati ternyata. Pas Drey nggak bergerak, dia langsung jerit-jerit, "MATI! DIA MATI! WOI! BANGUN, WOI!" sambil goyang-goyangin badan Drey sekeras mungkin. 

Aku dan seorang petugas rumah sakit berusaha menenangkan Karin yang tambah liar menjerit dan menangis. Tapi, Karin malah berontak tambah parah sampai beberapa alat kesehatan jatuh dari kotak penyimpanan di atas kepala kami. Untung aja nggak ada suntikan raksasa atau pisau bedah. Kalau ada terus nancap ke kepala kami kan berabe urusannya.

Sori, aku absurd banget. Kan memang gitu kalau di kartun-kartun tuh.

Dari pada cuma nunggu doang di depan pintu operasi, aku mengikuti Karin yang ngobrol sama petugas administrasi.

"Memangnya temannya kenapa, Mbak kok sampai kena luka seperti itu? Sekarang kami melakukan bedah ..."

"Sudah bedah apa yang bisa dibedahlah. Urusan dana nggak usah dipikirkan. Kalau dia nggak mau bayar, biar saya yang menyelesaikan semua pembayaran," kata Karin sambil mengelap tangannya yang berdarah ke celana panjang katunnya.

"Bukan, Mbak. Tapi kok bisa temannya itu kena luka tusuk yang begitu? Kalau ini tindakan kriminal, kami bisa membantu memberikan data ke pihak kepolisian."

Mampus! Apa benar aku bakalan dipenjara? Dokter nggak akan mungkin bisa dibohongi. Dokter bedahnya pasti tahu kalau luka itu dari tusukan pisau. Ini penganiayaan. Aku bakalan kena pasal penganiayaan. Karin bakalan jadi saksi utama.

"Oh, itu," kata Karin dengan santai. Dia memandang bosan ke arah petugas administrasi. "Dia lagi latihan debus. Yah, tahukan gimana cowok. Mereka suka pamer. Nah kecolok deh pakai pisau. Colokan pertama nggak berasa eh pas dicolok-colok lagi baru deh berdarah." 

Aku mendelik melihat karin yang bisa akting dengan sangat santai begitu.

"De-debus? Cowok itu pakai debus?"

Karin mengangguk. "Kenapa sih? Repot amat sama urusan orang. Mbak, saya bilangin, yah. Debus itu warisan nenek moyang. Itu termasuk budaya yang harus dilestarikan. Sudah sewajarnya anak muda seperti dia itu mempelajari ilmu bela diri dari Indonesia."

Aku nggak tahu sejak kapan Karin jadi duta budaya Indonesia raya begini. Tapi, gayanya itu meyakinkan banget. Tiba-tiba aja dia berdiri dengan punggung tegak dan gaya ngomongnya berubah jadi anggun begitu. Petugas administrasi itu sampai melongo.

"Tapi, kayaknya tu cowok turunan bule, Mbak."

"Emang kenapa? Turunan bule nggak boleh belajar budaya Indonesia? Mbak, jangan mendiskriminasikan warga turunan. Mending kali mbak jadi turunan bule daripada jadi turunan setan yang setiap hari kerjanya adu domba orang, gosipin orang, dan ngacak-ngacak rumah tangga orang. Iya, kan? Udah, ah. Mbak ini makin lama makin bikin saya pusing. Saya ini Mahasiswa kedokteran, Mbak. Kalau saya pusing terus nggak bisa belajar terus nanti saya jadi dokter yang nggak pinter, Mbak loh yang saya salahkan." Karin menggoreskan tanda tangannya di formulis yang tadi diisinya, lalu meletakkan bolpen ke meja dengan kesal sebelum berbalik kepadaku.

Jelaslah Mbak petugasnya cengo. Apa coba hubungan semua omongan Karin itu?!

Karin duduk di kursi tunggu di depan ruang operasi. Aku mengikutinya. Aku duduk di sampingnya.

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang