What Do You Want?

119K 8.8K 388
                                    

Sebenarnya, aku mau lari naik angkot atau ojek yang ada di pengkolan depan aja. Etapi si Karin duluan ngejar dan nyeret aku ke mobilnya.

"Lo nggak usah kayak film India gitu ngapa sih?"

Di dekat mobil Karin, Tundra sudah berdiri. Ekspresinya antara bingung dan khawatir.

"Lo yang bawa," kata Karin sambil melempar kunci yang ditangkap dengan pas sama Tundra. Dengan sigap, Tundra masuk dan menyalakan mobil (jangan heran. Tundra dari SMP sudah jadi kernet angkotnya ayah. Kadang dia disuruh Ayah bawa angkot kalau nggak ada polisi.) Sementara Karin ngelempar aku ke jok belakang. Ya, beneran dilempar. Persis banget kayak pas aku diculik sama orang suruhannya Drey itu.

"Kasar banget lo!" bentakku tajam.

"Lo kalau nggak dikasarin nggak bakalan ngerti, sih."

"Ngerti apaan?"

"Ngapain lo kabur gitu segala?"

Iya ya. Ngapain aku kabur? Karena nggak mau lihat mukanya Drey? Karena takut ketemu Drey? Karena takut dibalas siram pakai air mendidih sama Drey? Semua jawabannya iya. Meskioun sebenarnya jawaban paling jujur adalah aku malu pada diri sendiri karena ucapan Drey benar. Bukan bagian dia punya segalanya, tapi bagian jilat ludah sendiri.

Aku merasa bodoh dan--aduh apa sih yang ada di bawahnya tolol?--Moron(?) Pokoknya aku merasa nggak beres banget. Harusnya nggak begini. Harusnya memang aku nggak usah keganjenan dan kegatelan stalking Drey segala. Seharusnya aku nggak sekatro itu. Pastilah dia tahu kalau aku habis nge-love in foto-foto IG-nya. Pastilah dia mikir buat apa aku stalking gitu.

"Gue kudu gimana, Kar?" Air mataku sudah tumpah. Sekali lagi perasaan bercampur aduk nggak keruan. Setiap ketemu Drey pasti aku jadi merasa kacau begini. Astaga!

Alih-alih jawab, Karin malah ngeluarin HP dan masang google map ke suatu tempat. "Andra, ikutin ini, ya," katanya sambil mengulurkan HP. Tundra yang diam aja dari tadi menuruti keinginan Karin tanpa ngomong apa-apa. Aku tahu sebenarnya Tundra mau tanya banyak. Dia cuma tahu saat nggak pas buat memotong pembicaraan. Dia biasanya bakalan nunggu sampai semau tenang baru ngungkapin apa yang dipikirkannya.

Karin menyodorkan air mineral. Dengan rakus kuteguk isi botol plastik itu sampai tinggal setengah. Sekalipun botol itu agak hangat karena seharian ada di dalam mobil, aku nggak peduli. Mau sehat atau nggak sehat, aku juga nggak peduli. Otakku memang lagi nggak sehat sekarang.

Tundra berbelok ke gang sempit dengan hati-hati, tapi cepat. Sebentar kemudian mobil sudah masuk ke bangunan yang sepertinya ditinggalkan. Mobil berputar di jalan kecil. Ini bangunan untuk lahan parkir yang sudah lama nggak dilanjutkan pembangunannya. Bangunan kecil ini tinggi sekali. Aku sampai hampir mual melihat mobil terus berputar.

"Setan mana sih yang ngerancang bangunan kayak gini?" gerutu Karin yang kelihatannya juga sudah mulai pusing.

"Lah, kan lo yang nyuruh ke sini." Tundra hampir tertawa.

"Iya, sih. Ini tempatnya bagus. Tapi jalanannya aja yang parah gini."

"Beauty requires sacrifices, My Lady," jawab Tundra sambil tertawa. Kayaknya dia juga mua muntah, soalnya dia hampir nggak lihat jalan di depannya. "Tempat ini seharusnya ada lift-nya. Cuman pemborongnya keburu bunuh diri gara-gara utang."

"Ada setannya, dong?" tanya Karin dengan suara genit.

"Ada. Lo setannya," kataku, nyaris memekik.

Karin cuma memicingkan mata aja, nggak balas omonganku. Sebentar kemudian dia tersenyum dan mendekatkan kepalanya ke kepala Tundra. "Nanti kita berhenti di rooftop, ya. Kalau nggak salah udah ada jalan sampai ke sana, kan?" Suaranya lembut banget, bikin pengin buka pintu terus nendang dia keluar mobil.

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang