Kupandangi wajah Ayah yang pucat. Selang oksigen masih menempel di bawah hidungnya. Suara napasnya yang berat terdengar berlomba dengan monitor jantung dan dengung lembut mesin di dekat tempat tidurnya. Ayah terlihat puluhan tahun lebih tua. Aku baru sadar kalau Ayah kurus dan keriput. Rasanya baru kemarin Ayah dengan gagahnya menyombong kalau bisa mengangkat tempat tidur dengan aku, Glacie, dan Ibu di atasnya. Rasanya baru kemarin Ayah menantang Tundra kecil bergulat. Rasanya baru kemarin Ayah melotot memarahi anak cowok yang menggangguku di depan gang.
Apa aku yang tidak memperhatikan waktu berlalu?
Ayah bergerak. Pelan, matanya membuka. Mata itu seperti diselimuti kabut. Ayah mengerjap beberapa kali agar bisa melihat dengan jelas.
"Savanna?" Suaranya masih setegar biasanya. Syukurlah, Ayah sehat.
Kugenggam tangan Ayah. "Ayah mau minum? Tundra lagi ke luar sebentar. Kalau Ayah mau apa-apa, biar ku-SMS Tundra suruh belikan."
Ayah menggeleng. "Maaf ya Ayah malah sakit di hari ulang tahunmu."
Air mataku jatuh. Ayah sakit negini yang diingat malah ukang tahunku?
"Yah, aku ulang tahun sudah kemarin lusa." Aku menertawakannya. "Ayah nggak pernah ingat ulang tahunku," ucapku berpura-pura merajuk.
"Karena Ayah nggak mau menghitung umurmu. Buat Ayah kamu tetap bayi." Ayah menelan ludah sebentar. "Dulu kamu itu sudah mau mati, Ana. Badanmu sudah biru pas umur delapan bulan. Kamu demam tinggi. Nggak step, tapi lemes. Ibu bingung soalnya Tundra juga sakit. Ayah yang bawa kamu ke rumah sakit. Ayah lari karena waktu itu belum punya motor. Kalau uangnya dipakai buat ongkos, nanti kurang buat dokter sama obatmu."
Air mataku meluncur turun seperti air terjun. Kenapa Ayah harus cerita sekarang, sih?
"Untungnya ada dokter yang baik banget. Dia bayarkan semua obatmu. Ayah sampai minta alamat Bu Dokternya. Ayah ke rumahnya untuk perbaiki apa yang bisa diperbaiki. Ayah nggak mau mengemis." Ayah menarik napas panjang. Berat sekali sepertinya usahanya untuk bernapas. "Makanya Ayah selalu ingat kamu itu bayi yang berubah warna dari biru ke merah. Ayah belum pernah bersyukur sebanyak itu dalam hidup."
Kuciumi tangan Ayah, tangan yang telah menyelamatkan nyawaku. Padahal sudah berkali-kali aku membentak dan membantahnya. Yang Ayah ingat cuma cerita waktu aku masih bayi.
"Ke mana kemarin sama Tundra?"
"Ke puncak, yah. Sama Karin dan Drey."
"Mana Drey?"
"Dia pulang, Yah. Kemarin ditelepon Papanya disuruh ke Tokyo."
Ayah nyengir. "Bukan main! Pergaulanmu jauh sekali, Ana." Setelah terbatuk-batuk sebentar, Ayah melanjutkan, "Ibu sudah ketemu sama dia?"
Aku mengangguk. "Ibu telepon Abang pas panik. Drey yang telepon rumah sakit buat kirim ambulan ke rumah. Katanya sih ini rumah sakit keluarganya."
Ayah menengok simbol rumah sakit di lengan piyamanya, lalu memasang tampang, 'boleh juga.' yang sering ditampilkannya kalau melihatku pamer kebolehan.
"Apa kata Ibu?"
Aku mengangkat bahu. "Ganteng."
Ayah tergelak. "Ibumu bisa juga menilai daun muda."
"Tadi Ibu pulang pakai jaket Drey." Mungkin ini bukan informasi yang penting, tapi lumayan kan. Siapa tahu bisa menambah poin prestasi Drey di depan Ayah.
"Memang, Mamanya nggak marah?"
"Dia nggak punya orangtua, Yah. Orangtua cuma simbol aja."
Ayah mengelus lenganku. "Orangtuanya ada. Walau simbol, tapi tetap ada, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)
ChickLitDari sekian banyak gadis yang ingin menjadi kekasih CEO super sempurna, Savana bukan salah satunya. Dia hanya ingin menyelesaikan kuliah dengan baik. Ayah dan kakaknya telah berkorban banyak agar dia bisa jadi sarjana kebanggaan keluarga. Namun, p...