Berteman dengan Karin itu ada enak dan nggak enaknya sebenarnya. Enaknya, Karin itu anak yang lucu, imut, gemesin, nggak ribet masalah uang, dan kalau begonya kumat bisa diperbudak dengan mudah. Nggak enaknya, Karin itu posesif dan suka seenaknya sendiri. Kalau dia mau keluyuran di kamar cuma pakai bikin two pieces, nggak peduli aku lagi kedatengan teman kampus, dia bakalan pakai begitu di kamar.
Yah, emang kamar kami ukurannya gede. Karin juga yang bayar sewa kamar ini. Tapi paling nggak dia nggak bikin malu aku kan di depan teman-teman. Berasa nggak pernah ngedidik teman sekamar. Malahan ada yang ngatain aku lesbian pula sama si Karin.
Kalau aku beneran lesbian, Karin tetap bakalan jadi cewek terakhir yang kupilih jadi pasangan. Sumpah dia itu ngeselin banget!
Contohnya aja sore ini. Setelah aku capek melewati hari buruk bersama Drey dan pengin tidur buat mulihin energi dan mental, eh dia malah goyang-goyang badanku sambil manggil, "Na ... Ana ... Ana ..." gitu terus sampai kupingku terasa panas banget. Aku pengin ngeracun dia terus buang mayatnya ke teluk Jakarta.
Sayangnya, aku nggak seberani itu.
"Apa sih?" keluhku sambil membuka selimut yang menutupi wajah.
"Bangun deh gue mau marah."
"Lo marah aja gue dengerin sambil tidur," kataku lagi sambil menutup wajah dengan selimut.
"Terus faedahnya apa gue marah kalau lo tidur?"
"Lo puas marah dan gue puas tidur. Adil, kan?"
Karin menyeret selimutku sampai lepas. "GUE MINTA SAMA LO WAWANCARA SI DREY, BUKANNYA ENA-ENA SAMA DIA."
Suara Karin kenceng banget sampai kupingku berdengung.
"Eh kucing berbisa, lo kira gue peeska mau ena-ena sama laki macam dia? Kalau ngomong pakai peta biar nggak sembarangan." Aku mulai panas dan duduk di tempat tidur. Ngantukku jelas langsung hilang musnah dengar dia nuduh aku ena-enak gitu sama Drey.
"Terus yang lo kasih ini video apaan? Nggak ada informasi sama sekali yang gue dapet dari video ini. Gue kudu nulis apaan coba?"
"Emang Drey itu nggak ada isinya. Lo aja yang kebangetan bego nyari bahan sama orang kosongan gitu."
"Dia itu CEO, Ana. Dia itu yang punya perusahaan gede. Masa iya dia jadi CEO bego?" Saking emosinya tuhbya lobang idung Karin sampai kembang kempis gitu.
"Gue udah lihat dengan mata kepala, mata batin, dan mata kaki dia sendiri, Karin. Gue sudah lihat betapa songong dan geblegnya dia. Udah, deh! Lo buang waktu aja sama orang kek dia. Mending lo wawancarai Pak Erte kita itu aja. Dia lumayan pinter."
Karin mendadak lemas, duduk di tempat tidurku sambil mewek. "Gue kira bisa dapet berita yang sensasional gitu, Ana. Gue kira bisa ngalahin senior-senior gue di klub dengan berita ini. Sekarang, gue harus nyari proyek lain yang bisa gue pakai buat ngalahin mereka."
Nah, kalau lihat Karin mewek gini, aku jadi terenyuh. Aku paling nggak bisaan lihat orang mewek. Lihat Adikku mewek aja langsung kutampol biar diem. Karena aku nggak berani nampol Karin--dia pasti bales tampolanku--maka kudekati dia sambil tanya, "emang lo diapain?"
"Mereka bilang gue ini nggak akan bisa jadi jurnalis yang bener. Gue terlalu cantik, terlalu kaya, dan anak kedokteran. Mereka bilang gue nggak akan bisa bikin berita yang liar dan menghentak gitu. Mereka bilang orang kaya gue pasti pakai ghost writer." Karin membersit ingus. "Lo kan harusnya baca semua pertanyaan di dalam buku gue. Di situ ada pertanyaan yang menjurus ke pergaulan dia, anak pejabat yang digosipkan udah dijodohin sama dia, skandal dia sama artis-artis bule, sampai kebiasaannya dia di rumah. Kok lo bisa nggak baca sih, Ana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)
ChickLitDari sekian banyak gadis yang ingin menjadi kekasih CEO super sempurna, Savana bukan salah satunya. Dia hanya ingin menyelesaikan kuliah dengan baik. Ayah dan kakaknya telah berkorban banyak agar dia bisa jadi sarjana kebanggaan keluarga. Namun, p...