Another Savanna

96.2K 6.8K 339
                                    

Kepada siapa lagi aku bisa meminta fatwa tentang dunia pergosipan kalau bukan sama Karin? Dia tahu rahasia separuh bumi ini, kan?

"It's just rumors, Sweety. Nggak usah dipercaya. Itu cuma pernyataan sepihak dari Sienna. Pihak Drey nggak pernah ngasih informasi apapun," katanya sambil masih tetap santai ngikir kuku.

"Kenapa?" 

Karin menatapku dengan tatapan 'seriously?' sambil merapikan blush on-nya. "Lo nggak tahu, gosip itu bermata dua, Ana. Di satu sisi dia bisa naikin popularitas yang digosipin dan di sisi lain dia bisa bikin jelek nama orang. Nah, dalam hal ini kan nggak ada ruginya kalau pihak Drey dan Sienna sama-sama menggantung gosip. Fans Drey dan Sienna jadi makin banyak, kan? Lagian Drey memang nggak pernah ngasih klarifikasi atas gosip apapun. Mesti pengacaranya yang ngomong ke media."

"Drey butuh popularitas buat apa?'

"Buat ngemil, Korek Kuping." Dia menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan jengkel. "Buat orang-orang kaya, popularitas itu jauh lebih penting daripada sarapan. Drey itu yang paling ganteng di antara saudaranya. Dia itu icon-nya Syailendra. Sekalipun catatan kenakalannya melampaui anggota keluarganya yang lain, tapi nggak bisa dipungkiri dia yang paling 'dilihat' sama media. Secuil berita bisa berpengaruh sama seluruh keluarga, apalagi Sienna itu anaknya calon presiden. Kayaknya sih bokapnya bakalan menang deh tahun depan."

Kepalaku seketika jadi pusing. Kenapa cobaan berat banget, sih? Apa memang begini yang dialami Drey seumur hidupnya? Bergerak dan berperilaku sesuai kehendak orang lain demi orang lain? Kenapa dia nggak lahir jadi anaknya tukang siomay atau anak tukang ayam aja, sih? Kenapa dia lahir di tempat yang terlalu tinggi?

"Udah, deh. Nggak usah dipikirin. Drey sayang sama lo itu sudah cukup, Keong Sawah. Lo nggak usah sok cemburu sama rumor nggak jelas gitu. Kalau Drey mulai macam-macam, lo tinggal pindah ke Arya, kan" Karin mengedipkan mata dengan gaya genit.

"Lo kira gue ini penumpang transit?"

"Nggaklah. Lo itu Savanna, cewek cerdas yang selalu jadi nomor satu di kampus. Sekarang lo ikut gue daripada mikirin hal nggak guna gitu."

"Ke mana?"

"Ada, deh. Tundra juga sudah nungguin, tuh."

"Tundra? Ngapain?"

"Udah, simpen aja ributnya buat nanti." Karin melemparkan beberapa baju ke mukaku. Dengan malas kupakai jins dan blus yang dilemparkannya itu tanpa protes. Kalau ada Tundra bisa jadi ini penting. Tundra nggak akan mau ikutan kalau cuma urusan cewek. Dia kan kerja.

Karin membawaku ke daerah ramai. Oke, aku memang besar di Jakarta. Tapi, aku nggak pernah punya kemampuan untuk menghapal jalan dengan baik. Aku pernah cerita kalau pernah tersesat dan nggak bisa pulang, kan? Itu bukan terjadi sekali dua kali. Makanya aku nggak dikasih izin untuk bawa kendaraan sendiri. Kata Tundra, "Kalau lo sampai hilang bareng sama kendaraannya kan sayang banget kendaraannya."

Kami masuk ke coffee shop belum jadi. Aku mendelik karena di dalam coffee shop itu ada Tundra yang berdiri di tengah ruangan. Di sekelilingnya ada beberapa pekerja yang sibuk ke sana ke mari.

"Ini apa?" tanyaku bingung. "Lo mau bikin kafe juga?" Aku menoleh pada Karin. Jelas kan Tundra nggak bakalan punya modal buat bikin ginian?

"Kalau nggak, emang ngapain gue nongkrongin Simply Breeze tiap hari?"

"Karena Tundra," jawabku polos sambil menunjuk Tundra. Yang kutunjuk malah nunduk dengan muka merah.

"Yang itu sih bener," jawab Karin tanpa memerhatikan wajah Tundra. Dia duduk di pinggir meja peralatan tukang. "Gue sudah punya rencana lama banget buat bikin ginian. Di sini gue bukan cuma bikin coffee shop doang. Gue juga mau ngembangin website dan ini bisa jadi base camp-nya, kan? Lo juga bisa jual buku di sini. Di pojok sana," dia menunjuk bagian ujung ruang, "bakal penuh sama rak buku. Jadi kutu buku macam lo bisa nongkrong lama di sini. Gue mau jadikan tempat ini jadi surganya pecinta kopi yang punya macam-macam hobi."

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang