Perjalanan tanpa rencana itu akhirnya terlaksana juga. Kami berempat naik mobil Drey. Tundra menelepon ke rumah diam-diam dan minta izin pada Ayah untuk mengajakku jalan sampai minggu sore atau senin pagi. Aku dan Karin punya waktu lima menit untuk menjejalkan semua baju dan perlengkapan yang kami butuhkan ke dalam satu koper besar. Dua cowok itu melotot waktu melihat ukuran koper kami. Untungnya mereka nggak bernai komentar apapun.
Tundra cuma butuh sikat gigi dan celana dalam cadangan yang dibelinya di mini market pertama yang kami lewati. Drey memang selalu punya pakaian cadangan di mobilnya. Dia bilang, "kadang, kalau terdesak jadwal, aku nggak bisa pulang." Makanya tadi dia langsung punya baju ganti. Dia membawa kaos dan jaketnya yang terkena kopi tadi ke laundry dekat mini market yang dimasuki Tundra.
"Kamu kenapa?" tanya Drey saat kami menunggu Tundra dan Karin memborong semua isi minimarket di pom bensin.
Aku menggeleng. "Nggak apa-apa," kataku singkat. Langit berkelip merah di kejauhan. Kilat? Kutelepon Karin yang langsung mengangkat di nada dering pertama.
"Apa? Kamu mau titip apa?" Karin setengah mengikik.
"Sebentar lagi hujan, Kar. Buruan!" kataku yang dijawab tawa ngakak Karin dan Tundra yang entah kenapa.
"Ana, kita naik mobil. Kita nggak bakal kehujanan," ucap Drey sambil memiringkan kepala. "Kamu mabuk? Kok tegang banget. Aku bisa pijit ..." Drey menyentuh bahuku. Aku menghindar.
"Ana? Kenapa?" Alis Drey berkerut.
"Aku ..."
Kenapa kamu pilih lagu itu? Kenapa kamu nggak bilang 'cinta' sama aku? Kenapa kamu baik sama semua orang? Kenapa kamu pilih lagu itu? Kenapa kamu memilih aku? Kenapa kamu pilih lagu itu?
"Nggak apa-apa," kataku sambil berpaling ke Karin dan Tundra yang masing-masing menenteng tiga plastik besar. Kubuka kaca jendela dan berteriak, "kalian mau minggat ke mana?"
"Aku pengin mabok micin," kata Karin. Dia masih ngakak waktu memasukkan (lebih tepat menjejalkan) bungkusan itu ke bagasi yang sudah hampir penuh dengan koper besar kami.
"Padahal di depan ada pabrik micin," kata Drey. "Apa perlu kita rampok malam ini?"
"Jangan. Nanti dia tambah kacau," kata Tundra ceria.
Nah, bahkan Tundra sudah bisa berbaikan sama Drey. Kenapa jadi aku yang tambah kacau?
"Bro, kalau kamu capek, aku bisa kok gantikan bawa mobil," kata Tundra lagi.
"I'm fine. Aku bakal bilang kalau aku butuh bantuan," jawab Drey ringan. "Cewek di sampingku ini yang mungkin butuh bantuan."
Karin ngakak lagi. "Ana sih payah. Naik ayunan aja dia mabuk parah. Lo minum antimo, deh."
"Aku masih punya dramamine yang dikasih Drey waktu itu."
Seketika mobil jadi sepi. Aku sampai menoleh ke belakang untuk melihat Karin dan Tundra. Mereka menatapku penasaran.
"Apa, sih?"
"Jadi, waktu itu lo beneran muntah dan tidur di mobil Drey?" Karin menyandarkan kepala di sampingku
"Kan gue udah bilang."
Dia tersenyum ke arah Drey. "Gue kira lo cuma ngarang doang biar nggak kena marah. Lagian, baru lo cewek yang muntah di kencan pertama."
Sialan! Dasar tali pocong!
Tapi berkat itu, Tundra jadi lebih luwes ke Drey. Dia nggak lagi mengerutkan jidat setiap aku ngobrol sama Drey atau sebaliknya.
*
Hujan benar-benar turun. Saking derasnya, jalanan sampai berkabut. Saat kami berhenti di lampu merah, ada keluarga yang naik motor dan kehujanan di sebelah kami. Bapak, ibu, dan anak yang mungkin masih empat atau lima tahun. Mereka semua pakai jas hujan warna kuning. Tangan Ibu menggenggam kepalan tangan anaknya di pinggang suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)
ChickLitDari sekian banyak gadis yang ingin menjadi kekasih CEO super sempurna, Savana bukan salah satunya. Dia hanya ingin menyelesaikan kuliah dengan baik. Ayah dan kakaknya telah berkorban banyak agar dia bisa jadi sarjana kebanggaan keluarga. Namun, p...