Perjalanan ke rumah sakit serasa lama sekali. Tundra sudah ngebut kayak orang gila mabuk oplosan, tapi di tengah jalan malah ada kecelakaan. Jalanan jadi macet dan Tundra berkali-kali meninju klakson sampai kepalaku terasa mau pecah. Drey turun dari mobil dan menenangkan Tundra. Di tengah macet, Drey merangkul bahu Tundra dan memberinya air minum. Setelah ngobrol beberapa saat di luar, Tundra sudah lebih baik. Drey yang bawa mobil. Tundra duduk di belakang sambil mencengkram tangan Karin.
"Chill out, Man. Sudah ada orang-orang berkompeten yang menanganinya sekarang. You don't need to worry. Ok, Bro?" Drey berusaha meyakinkan Tundra. Dia sudah menghubungi rumah sakit swasta yang diklaim sebagai milik keluarganya. Kudengar di telepon dia menyebutkan nama-nama dokter yang menurutnya adalah dokter terbaik di rumah sakit itu.
Aku mengerti. Aku juga merasakan hal yang sama. Nggak ada artinya heboh dan marah-marah sekarang. Nggak akan menambah atau mengurangi apapun. Ayah tetap masuk rumah sakit dan kami nggak bisa terbang untuk sampai lebih cepat.
Kami baru sampai rumah sakit saat matahari sudah mulai hilang. Aku sudah menghubungi Ibu dan Glacie berkali-kali untuk menenangkan mereka. Ayah sudah di rumah sakit, mendapat pertolongan pertama untuk serangan jantung.
Sialnya, semua orang di rumah tahu Ayah punya penyakit jantung kecuali aku. Hampir saja kutampar Tundra saat dia bilang, "memangnya apa bedanya kamu tahu atau nggak? Ayah tetap aja sakit, kan?"
Apa gunanya aku jadi anak kalau nggak tahu kondisi orangtuaku sendiri?Dengan dada berdebar kencang, aku berjalan cepat di koridor rumah sakit. Aku nggak menyapa Tundra sama sekali. Dia dan Karin menjemput Glacie yang juga akan membawa perlengkapan untuk Ayah selama diopname. Kuminta nggak banyak bawa barang karena di rumah sakit ini semua sudah disediakan.
Ibu duduk sendiri di ruang tunggu UGD. Wajahnya lesu. Matanya masih basah. Ibu bahkan masih pakai daster. Sandal jepitnya juga berbeda warna. Mana bisa kutahan lagi air mataku?
"Bu," panggilku sambil bergegas memeluknya. Ibu menyambut pelukanku dengan air mata. Sebentar saja bahuku sudah basah. Kuusap punggungnya berkali-kali.
Ibu melepaskan pelukannya. Wajahnya sudah lebih cerah. "Ibu nggak apa-apa. Ibu cuma panik. Ayah orang yang kuat, kok. Ayah pasti bisa bertahan." Matanya yang sembab bercerita lain.
Aku berusaha tersenyum lebar. Kalau Ibu bisa berpura-pura untuk menguatkanku, aku juga harus bisa melakukannya untuk Ibu. "Ayah memang orang kuat. Besok paling sudah bisa makan bakso pedes lagi." Kami tertawa, sekedar untuk menguatkan satu sama lain.
"Itu siapa?" Ibu mengerling ke Drey yang berdiri di belakangku. Aku berpaling. Drey tersenyum canggung.
Aku memberi tempat agar Drey duduk di sebelah Ibu. Tapi, Drey menahanku agar tetap duduk. Dia memilih jongkok di depan Ibu. "Drey, Tante," katanya sambil mengulurkan tangan.
Ibu menerima tangan Drey, tersenyum, lalu menatapku. "Terima kasih banyak ya sudah membantu Ayah Ana. Ibu bingung tadi harus telepon siapa. Cuma Ana sama Tundra yang Ibu ingat."
"Nggak apa-apa, Tante. Saya ... uhm ... nggak apa-apa." Wajah Drey memerah. "Mau minum teh?" tanya Drey lagi sambil menengok vending machine yang nggak jauh dari kami. Dia menatapku. "Teh hangat, ya?"
Aku mengangguk.
Dia berdiri dan melepas jaketnya. "Uhm ... tante mau kan pakai jaket ini? Di sini dingin banget."
Ibu mau menolak, tapi aku langsung mengambil jaket itu dan memakaikan paksa ke lengan ibu. "Sudah cukup Ayah aja yang sakit malam ini. Ibu jangan," kataku tegas. Drey mengangkat alis sambil tersenyum sebelum pergi ke vending Machine.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)
ChickLitDari sekian banyak gadis yang ingin menjadi kekasih CEO super sempurna, Savana bukan salah satunya. Dia hanya ingin menyelesaikan kuliah dengan baik. Ayah dan kakaknya telah berkorban banyak agar dia bisa jadi sarjana kebanggaan keluarga. Namun, p...