Prolog☔

1.5K 124 6
                                    



Tetesan air hujan jatuh satu persatu dari atap warung kecil pinggir jalan Gatot Kaca sekitaran kota di Jawa Timur. Menimbulkan riak di genangan-genangan kecil. Membentuk percikan-percikan kecil lainnya dengan lingkaran beruas-ruas.

Seorang gadis berhijab hijau mengangkat sedikit gamisnya agar tak terkena cipratan air saat ikut berteduh di emperan warung. Pria bersarung di sampingnya melirik sekilas kelakuan gadis itu dengan senyum. Ia bergeser sedikit, khawatir jaraknya terlalu dekat dengan si gadis.

Alis gadis itu bertaut, melirik kaki di sebelahnya yang tampak begitu tenang meski percikan air hujan menyapa kakinya, bahkan tak segan terhempas pada sarung yang ia kenakan. Meski begitu, ia tetap tak berani mengangkat wajahnya untuk sekadar mencari tau siapa pemilik kaki bersandal jepit itu.

Makin lama, hujan malah semakin deras mengguyur. Percikan air yang semula kecil, kini melebar ke mana-mana. Gadis manis itu makin menaikkan gamisnya. Beruntung kakinya tertutupi kaos kaki hingga lutut, jadi tak perlu risau dengan aurat yang akan terlihat.

“Air hujan itu suci kok, Mbak!” ujar pria bersarung itu sambil tersenyum.

Gadis bermata bulat itu mengangkat wajahnya, menatap pria yang mengarahkan pandangannya ke depan. Seolah tak peduli dengan tatapan penuh tanya dari gadis di sampingnya. Untuk ukuran seorang laki-laki, kulitnya terlihat terlalu bersih di matanya.

Emperan warung itu makin penuh oleh beberapa pengendara motor yang ikut berteduh. Menggeser sedikit demi sedikit tubuh gadis mungil itu hingga hampir berdempetan dengan pria bersarung yang juga ikut bergeser ke belakang. Gadis itu kini berdiri pas di depannya. Seolah menjadi tameng dari percikan air hujan.

Seorang pria berjaket jeans membawa sebuah tas ransel besar juga tampak tergesa menerobos hujan, ikut berdiri di samping gadis itu. Badannya hampir sepenuhnya basah. Tak sengaja menyenggol gadis yang masih menjinjing gamisnya.

“Astaghfirullah …,” pekik gadis itu terkejut.

“Oh, maaf, maaf!” pria casual itu mengatupkan kedua tangan di dadanya.
Pria bersarung di belakangnya lantas menepuk punggung gadis itu dengan map yang dipegangnya.

“Pindah ke sini, mau?” tanyanya saat gadis itu menoleh ke arahnya.

Gadis itu mengangkat alisnya, masih berfikir. Pria bersarung mengintip sedikit ke dalam warung. Lalu menunjuk sebuah meja kosong di pojok ruangan.

“Atau duduk di sana saja!” tawarnya.
Gadis itu juga ikut melongo, mengintip meja yang ditunjuk pria di belakangnya.

“Dari pada di sini. Tuh gamisnya sudah basah semua.”

Tatapan gadis itu beralih ke bawah. Lebih tepatnya pada kaos kaki basah yang dikenakannya. Rasanya sungguh tak nyaman.

“Saya gak bawa uang buat duduk di dalam.” Ini bukan alasan, tapi memang itulah kebenarannya. Sudah tak ada uang lagi di dompetnya.

“Kenapa harus punya uang buat duduk di dalam?”

“Kan harus ngopi.” Gadis itu menunjuk beberapa orang yang memenuhi meja lainnya tengah menunggu reda hujan sambil menyeruput kopi masing-masing.

“Oh, saya yang bayar!” putusnya kemudian.

Alis gadis itu makin bertaut. Merasa ganjil jika ia harus berduaan dengan pria yang sama sekali tidak di kenalnya. Namun, apalah daya, sepertinya dia memang harus menyerah hari ini. Toh mungkin, dia sudah takkan bertemu lagi dengan pria itu. 

“Dua kopi, Bu!” Pria itu mendekati ibu paruh baya yang berdiri di belakang etalase. Kemungkinan ibu itu adalah pemilik sekaligus pembuat kopi di sana. Pria itu lantas ikut duduk berhadapan dengan wanita bergigi gingsul di depannya. Menunggu pesananannya datang.

“Santri, ya?” Pembuka percakapan yang bagus dari si pria.

“Bukan.” Gadis itu menjawab tanpa menatapnya.

“Oh, tampilannya seperti santri.” Pria itu sedikit bergumam.

“Memangnya hanya santri yang boleh pakai jilbab dan gamis?” ketusnya.

Kali ini bola matanya mengarah pada pria di depannya. Pria itu menarik sudut bibirnya.

“Gak harus,” jawabnya kemudian.
Ibu berbadan sedikit gempal itu datang dengan membawa nampan berisi dua cangkir kopi ke meja si pria. Meletakkannya perlahan dengan tersenyum ramah.

“Terima kasih!” pria itu mengangguk tak kalah sopan mengucapkan terima kasih.
Gadis berkerudung hijau itu tampak tak tenang. Seolah terburu-buru berharap hujan akan segera berhenti. Hal itu nampak dari beberapa kali ia melempar pandangan ke luar jendela warung.

Dering ponsel sedikit mengganggunya. Pria di depannya cepat menekan tombol terima di ponselnya. Lalu berpamitan untuk menerima teleponnya sebentar di tempat lain. Pria itu mengambil tempat di pojok ruangan, hanya beberapa langkah dari mejanya.

“Waduh, mohon maaf! Sepertinya Mbak harus menghabiskan kopi sendirian. Teman saya sudah di depan. Atau mungkin mau ikut saya sekalian?”

Dih, memangnya dia kira aku wanita apa? Batin gadis itu gerah.

Tangannya reflek melambai cepat. Menandakan bahwa ia tidak berminat menerima tawaran itu.

“Gak usah, terima kasih! Rumah saya deket kok,” tolaknya.

“Oh ya sudah, saya duluan kalau begitu!”

Pria itu membayar kopi yang sudah di pesannya, lalu pergi keluar setelah mengucap salam pada gadis tadi. Sementara gadis itu menarik pandangannnya pada pria yang sudah keluar dari warung. Pria itu tampak amat sangat dihormati dengan adanya payung yang diarahkan ke atas kepala sang pria oleh temannya. Ada tanda besar di wajahnya melihat adegan itu. Persis seperti yang biasa ia lakukan untuk Ning Iro di pesantrennya.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang