MusimSemi-01

47.8K 2.7K 118
                                    

❄❄❄


BACA DI TEPIAN MUSIM SEMI YANG PERTAMA TERLEBIH DAHULU, KARENA NOVEL INI RELATED

❄❄❄

"Kak Nae, Om Dad sudah pulang ke Amerika, ya?" tanya Fatih yang sekarang duduk di atas tempat tidur. Kakinya diayun-ayunkan, sambil kedua matanya memperhatikan Naela yang sibuk menyusun buku-buku dari atas meja ke lemari kecil yang menempel di dinding.

"Belum." Naela menjawab singkat. "Fatih, ini kenapa bukunya berserakan begini? Kasihan kalau sampai Umi yang lihat lebih dulu sebelum Kak Naela. Nanti Umi yang capek beresin."

"Fatih minta maaf." Bocah itu cemberut lucu. "Kan Fatih kangen sama buku-buku di rumah ini. Selama ini Fatih baca buku di rumah Om Dad kebanyakan pakai bahasa Inggris. Fatih juga nggak paham semua apa yang ditulis di sana. Untung ada Om Jono yang bantuin Fatih. Kak Naela nggak pernah tuh perhatian sama Fatih. Nggak pernah jenguk Fatih juga," ucapnya protes.

Jari-jari Naela terhenti. Kenapa ia bisa lupa secepat ini? Bukankah beberapa waktu lalu ia menjalani hari-hari sulit ketika merindukan Fatih? Lalu sekarang, mengapa ia tidak bisa memberikan uzur atas sedikit saja keteledoran Fatih?

Naela berbalik. Ia duduk jongkok di hadapan Fatih. Tangan kananya memegang dagu bocah yang kini pura-pura tidak mau menatap wajahnya.

"Nak, mulai sekarang panggil Kak Nae Ibu, ya? Kak Nae ini ibunya Fatih." Naela meminta dengan suara lembut.

Fatih mengerutkan dahi.

"Kok baru sekarang Kak Nae minta dipanggil Ibu? Bukannya Aa Dhani, Aa Dwiki, Aa Asep, semua manggil ibunya dengan panggilan ibu sejak mereka masih bayi?" Fatih bertanya polos. Anak ini memang tidak sepolos usianya. Lihat saja, bagaimana dia bisa menyimpulkan peristiwa-peristiwa di sekelilingnya dengan kesimpulan yang benar. Walaupun penggunaan kata "sejak mereka masih bayi" masih terdengar sedikit aneh.

Naela memutar otak cepat. "Iya, dulu Kak Naela masih muda, jadi malu kalau dipanggil Ibu. Sekarang Kak Naela sudah tua, jadi Fatih boleh panggil Ibu," alasan wanita 30 tahun itu sambil berpura-pura batuk.

Tidak mau percaya begitu saja. Fatih diam sebentar. Ia memperhatikan Naela dengan seksama. Wajahnya serius sekali dengan bibir kuncup.

"Memangnya kalau orang sudah tua itu suka batuk-batuk ya, Kak? Kok Fatih nggak pernah lihat Umi atau Paman Jono batuk-batuk? Justru waktu itu Fatih pernah lihat Om Dad batuk-batuk sampai berdarah. Berarti Kak Nae sama Om Dad lebih tua dari Umi dan Paman Jono, ya?"

"Ih, Fatih nyebelin." Naela cemberut. Ia tidak punya alasan lagi untuk membantah putranya yang kini sudah berusia enam tahun.

"Pokoknya Fatih harus panggil Kak Nae dengan panggilan Ibu. Titik!" Ia mencubit ujung hidung Fatih dan menahannya hingga bocah itu tertawa, kemudian kembali menuju buku-buku yang masih berserakan.

"Pokoknya Fatih nggak mau. Titik!" jawab Fatih lagi sambil menjulurkan lidah.

"Ada apa ini? Kok pagi-pagi sudah heboh?"

Seorang gadis bertubuh tinggi proporsional kini sudah berdiri di ambang pintu. Mata bulatnya terbingkai kaca mata bening dengan bingkai besar. Rambutnya masih semrawut, hanya diikat asal-asalan. Sebuah benda berwarna gold ada di antara jari-jari yang lentik dan indah. Benda yang mengantarnya menjadi selebritis online di platform instagram dengan pengikut hampir mendekati angka dua juta.

Seandainya diminta memilih antara tetap menjadi pengacara atau selebgram, tanpa harus berpikir puluhan kali, pasti ia akan memilih selebgram. Dia bilang menjadi selebgram itu mudah. Hanya perlu memikirkan gaya hidup menarik yang laku untuk dijual. Termasuk ketika dia sedang pelesiran ke luar negeri, foto-fotonya juga tidak perlu dikhawatirkan berakhir mubazir, karena akan dinikmati para pengikutnya. Dia hanya perlu menuliskan sedikit kalimat manis yang tidak terkesan riya, meskipun dalam hati berkata, "Lihat, aku udah sampai di sini. Kamu udah belum? Pasti belum, 'kan? Aduh kasihan," atau "lihat, aku cantik, 'kan? Bajuku bagus 'kan? Pasti kamu kepengin."

Di Tepian Musim Semi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang