MusimSemi-12

16.3K 1.8K 51
                                    

❇❇❇

Pertengahan bulan itu bersamaan dengan mekarnya bunga-bunga musim semi di daratan Amerika, Sam dan Naela menikah. Resepsi pernikahan mereka sederhana saja, hanya mengundang 100 tamu dari para handai taulan, tetangga, orang-orang terdekat, dan beberapa puluh nama lagi yang menerima undangan tanpa perkenalan akrab sebelumnya.

Pernikahan itu diliput oleh beberapa awak media keras kepala yang tetap mengeloyor masuk, meskipun Naela cukup keberatan pada mulanya. Alhasil selang beberapa jam, berita pernikahan itu telah menyebar ke segenap penjuru Tanah Air, kemudian berbagai tanggapan (mulai dari terkejut, pro, kontra, pujian, decak kagum, biasa-biasa saja, marah, hingga hujatan) membanjiri media sosial. Naela tidak pernah lagi membuka media sosial, jadi dia tidak begitu terpengaruh, tapi tidak dengan Mariam. Tulisan-tulisan bijak disertai beberapa foto resepsi mulai diunggah Mariam dalam akun instagram, dia ingin siapapun yang peduli pada Naela agar menghargai keputusan wanita tersebut. Sejak dulu Mariam memang demikian, selalu menjadi sahabat yang bisa diandalkan.

Sam tinggal bersama di rumah Naela hingga dua hari kemudian, lalu setelah bermusyawarah, Naela setuju untuk ikut Sam ke Amerika pada hari ketiga. Di antara semua orang yang terlibat dalam rangkaian acara, Fatih adalah yang paling bergembira, karena sekarang dia bisa duduk di antara Om Dad dan Kak Naela-nya. Mereka bercanda bersama, meskipun dia sedikit aneh mengapa dua orang dewasa itu masih acuh satu sama lain.

Sekarang mereka sudah berdiri di depan terminal keberangkatan internasional bandara Soekarno Hatta. Umi dan Mariam ikut mengantar. Ketiga wanita itu menangis haru, tapi bagaimana pun kehidupan adalah tentang pertemuan dan perpisahan. Setiap manusia memiliki jalan hidup masing-masing.

Selama beberapa masa boleh jadi mereka menyusuri jalanan bersama, berpeganan tangan, saling melemparkan canda dan gurauan, tapi setiap jiwa telah tahu bahwa nun jauh di depan mereka akan berpisah di persimpangan. Dia bersama jalan dan teman yang baru, dan kamu bersama jalan dan teman yang baru.

Tiada kebersamaan yang abadi, kecuali kebersamaan di kehidupan selanjutnya. Tidak ada yang perlu begitu dibanggakan dari sebuah pertemuan, dan tidak ada yang perlu begitu ditangisi dari sebuah perpisahan. Bukankah ketika dua manusia bertemu kelak juga akan berpisah? Tidak ada bantahan dalam urusan ini. Seperti ketika setangkai magnolia yang mulai merekah dari kuncupnya, lalu manusia berbahagia menyaksikan, meskipun telah tahu bahwa pada hari ketujuh mereka juga akan menyaksikan mahkota bunga yang berguguran.

"Nae, sebelum kamu pergi aku mau tanya sesuatu," Mariam menyeret Naela ke dekat tiang. Dia mengeluarkan ponsel, mencari-cari sesuatu dengan telunjuknya, lalu menyodorkan layar berisi foto, "Ini teman kamu, kan? Namanya siapa? Kok aku belum pernah lihat?" bisiknya.

Naela mengambil ponsel dari tangan Mariam, memperhatikan lamat-lamat. Foto itu diambil Mariam ketika resepsi dua hari lalu. Di sana tampak sebuah meja, dan beberapa orang yang mengelilinginya sedang bercakap-cakap. Naela kenal orang-orang itu. Ustadz Hussein, istrinya, dua orang lagi adalah tetangga di kompleks perumahan, lalu Yusuf. Pemuda itu terlihat khusyuk mendengarkan ayahnya yang sedang bicara.

"Dia Yusuf," jawab Naela.

"Yusuf yang pernah melamar kamu?"

Naela mengangguk sekaligus heran pada pertanyaan Mariam.

"Ternyata dia lumayan keren," gumam Mariam.

Naela mulai paham maksud sahabatnya ini.

"Bukannya tahun lalu kamu sudah lihat dia waktu di rumah sakit? Bahkan Yusuf juga mengantar sampai ke rumah. Kamu lupa atau pura-pura jatuh cinta pada pandangan pertama?" goda Naela.

"Ah, nggak," Mariam melambaikan tangan, tersipu, "Seingatku dulu dia nggak sekeren ini."

Mariam melihat jam di layar ponsel, kemudian memeluk sahabatnya.

Di Tepian Musim Semi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang