MusimSemi-30

19.7K 1.8K 394
                                    

Ini bukan lanjutan, melainkan saya nggak tau kenapa statusnya jadi "draft", makanya di-publish lagi. Baru ngeh saat banyak yg DM dan nanya kenapa part 30 nggak ada.

***

"Aku butuh bantuanmu, Ellen." Seorang pria baru saja mengeloyor masuk dengan wajah resah, seketika duduk di sofa dengan kepala terdampar tragis di belakang.

Ellen, sang teman sekaligus psikiatris, yang semula duduk di meja kerja sambil menulis sesuatu, sontak terperangah. Dia melepas kaca mata, berjalan ke arah sofa.

"Sam?" Wajahnya keheranan. "Angin apa yang membawamu datang ke ruanganku hari ini?" Ellen mengambil tempat duduk di samping pria itu.

Tamu kesekian hari ini adalah Sam, teman sekaligus kliennya tahun lalu ketika putra pria ini mengalami selective mutism dan tidak mau bicara dengan siapapun. Sudah hampir dua bulan mereka belum bertemu, bahkan Sam tidak pernah mengabari.

"Kau hanya datang ketika ada masalah, Sam," gerutu Ellen.

Sam mengurut pelipis, kemudian meremas kepala. Penampilannya kacau sekali; celana jins dan kaus warna abu yang sepertinya belum diganti sejak kemarin, disempurnakan dengan rambut berantakan dan wajah gelisah. Dia lebih terlihat seperti pria yang kalah judi daripada seorang pengacara, terlebih pemilik sebuah firma hukum.

"Hey, Sam," panggil Ellen seraya menyentuh pundak pria itu. "Ini sudah jam makan siangku, kau tentu tidak suka kalau aku pergi makan terlebih dahulu, 'kan?"

"Ellen yang baik hati ...." Sam menggeram. Rahangnya mengeras. "Kau lebih mementingkan perutmu itu dibandingkan teman baikmu sendiri?"

"Kalau begitu cepatlah bicara atau aku akan menghitung hour rate normal untuk konsultasimu."

"Hitung. Silakan hitung!" Ucap Sam gusar. "Aku akan membayarmu, tenang saja. Berikan aku lima menit untuk menenangkan diri," gumamnya.

"Baiklah." Ellen mengangkat bahu, menghela napas. Dia sudah berkali-kali berhadapan dengan Sam. Responnya yang tidak bersahabat sama sekali tidak membuat Ellen tersinggung. "Aku akan hitung waktunya." Ellen berkata santai, melirik jam tangan.

Sam memejamkan mata, tidak berminat menimpali ucapan Ellen. Terserah apabila wanita itu ingin mengkalkulasi waktu konsultasinya, toh dia punya uang dan sanggup membayar.

"Ellen." Tidak sampai lima menit Sam sudah duduk tegak, memalingkan tubuh ke kanan, menatap sungguh-sungguh teman bicaranya, "seandainya suamimu tidur dengan wanita lain, apa yang akan kau lakukan?"

Ellen melipat kedua tangan di depan dada, menggerakkan bibir ke samping kanan, "Well, aku akan minta cerai," katanya santai.

"Tidak mungkin sesadis itu," tukas Sam. Itu bukanlah jawaban yang ia inginkan. "Anggap saja itu adalah kesalahan suamimu yang pertama tanpa diiringi niat berselingkuh." Sam mencari pembelaan.

Ellen mulai curiga, tatapannya menyelidik. "Tetap saja, Sam. Bagiku selingkuh hingga sejauh itu tidak bisa ditoleransi. Dia telah mengingkari janji pernikahan. Aku tidak punya ampunan untuk yang satu ini."

"Kau berlebihan, Ellen. Bagaimana kalau suamimu meniduri wanita lain sebab selama ini kau tidak pernah mengizinkannya untuk menyentuhmu?"

Wanita itu semakin bingung. Yang dia tahu Sam masih berstatus lajang sejak perceraiannya dengan Katty, tetapi mengapa hari ini dia justru bertanya hal-hal terkait rumah tangga. "Kau 'kan tidak punya istri. Mengapa sampai frustasi separah ini hanya karena masalah yang tidak kau alami sendiri?"

"Aku punya istri, Ellen. Kami menikah lima minggu lalu."

Secara otomatis saraf-saraf di kepala Ellen menampilkan potongan demi potongan percakapannya dengan Sam tahun lalu tentang wanita Indonesia yang mengandung putranya, kemudian menghubungkan dengan kliennya pagi tadi yang mengaku baru saja menikah lima minggu lalu, juga informasi tentang suami Naela yang seorang pengacara sekaligus pemilik firma.

Di Tepian Musim Semi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang