MusimSemi-31

17.4K 1.6K 79
                                    

Lima bulan berlalu ....

Daun-daun magnolia di halaman rumah bercat putih itu telah gugur seluruhnya, menyisakan rerantingan dan batang kehitaman yang menjulang kokoh seperti tiada guna. Beberapa hari terakhir, mendung tampaknya sedang ingin terus menggelayut manja di kaki langit, gerimis kecil turun sesekali, tak jarang angin menyusul datang menggoyangkan popohonan. Seakan-akan si angin telah sepakat untuk memastikan tidak ada lagi daun-daun yang sanggup menetap di dahan sebelum kedatangan penguasa dingin di musim depan. Jadilah daun-daun berwarna kuning, merah, cokelat, hingga oranye itu berkejaran bergulung-gulung di atas aspal dan tanah, berakhir pada tumpukan di sudut selokan, atau berserakan memenuhi halaman dan sepanjang jalan utama rumah.

 Jadilah daun-daun berwarna kuning, merah, cokelat, hingga oranye itu berkejaran bergulung-gulung di atas aspal dan tanah, berakhir pada tumpukan di sudut selokan, atau berserakan memenuhi halaman dan sepanjang jalan utama rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gerbang rumah bercat putih itu terbuka. Sebuah mobil warna hitam baru saja masuk, kemudian melaju halus menyusuri jalan sepanjang 50 meter, memaksa daun-daun untuk beterbangan menepi.

Mobil berhenti tepat di depan pintu rumah. Saat pintunya mulai terbuka, seorang perempuan berhijab abu-abu dan berjaket tebal terlihat sedang fokus menekan ponsel. Ia memungut tas sambil satu kakinya mulai berayun keluar.

"Assalamualaikum ...," sapa seorang pria yang kini sudah tersenyum di layar.

Wanita itu berlari ke kanan mobil, membukakan pintu untuk seseorang.

"Waalaikumussalam wa rahmatullah. Kau jadi pulang hari ini?" tanya si wanita kepada pria di ponsel, matanya tajam mengawasi anak berusia enam tahun tujuh bulan yang kini ancang-ancang ingin lompat. "Jangan lompat, Nak," cegahnya.

"Insya Allah. Siang ini masih ada satu rapat dengan para partner baru di sini. Sebisa mungkin aku akan mengejar penerbangan dua jam lagi. Dimana Fatih? Bagaimana sekolahnya hari ini?" tanya pria yang kini tengah duduk di kursi eksekutif empuknya, di Bahama, sekitar 1.363 mil dari daratan Amerika.

Fatih tidak peduli pada larangan ibunya. Dengan wajah semringah, tubuh gesitnya melompat turun. Setelah berhasil mendarat tanpa kekurangan suatu apapun, ia nyengir tidak berdosa. Si ibu hanya berdecak geram. Tubuh mungil yang terbungkus jaket itu memeluk kaki ibunya erat-erat, isyarat permintaan maaf. Matanya berkedip-kedip. Satu buah tas kecil tersangkut manis di punggung. Kedua kaki mengenakan sepatu kets keren. Rambut yang belum dipotong sejak dua bulan lalu sudah lumayan panjang, lurus hingga sampai setengah kuping. Mana mungkin hati wanita itu tidak luluh menyaksikan putranya yang demikian tampan.

Ponsel di tangan Naela diarahkan ke depan wajah Fatih.

"Howdy, Dad? I miss you so bad," keluh Fatih melepaskan pelukan dari kaki Naela. Ia meraih ponsel, sok geleng-geleng kepala seolah sedang terjadi suatu musibah yang sangat parah.

Di Tepian Musim Semi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang