MusimSemi-16

14.7K 1.8K 66
                                    

🍁🍁🍁

Pria itu duduk di tepian sungai, jauh di dalam hutan. Tadi setelah pertengkaran dengan Naela, dia memutuskan untuk pergi sejenak. Pernikahan ini baru berjalan empat hari, namun sudah diawali dengan air mata dan pertengkaran.

Hening. Hanya terdengar suara burung bersahutan bersama angin yang turun dari pegunungan. Di depannya air mengalir dengan tenang menuju lembah.

Naela yang malang, wanita baik yang telah mengandung dan melahirkan putranya. Dia tak pernah berniat menyakiti Naela lagi, sungguh. Tapi cinta kepada seorang wanita di masa lalu, juga tidak bisa hilang semudah itu.

Cintanya yang begitu dalam kepada Katty.

Katty, nama yang seharusnya sudah ia buang jauh-jauh. Namun hingga sekarang dia masih sering terbayang; pada senyuman, canda tawa, kehangatan, perdebatan yang disertai cinta, dan kekuatan jiwa wanita itu. Sejak pertemuan mereka di atas kapal, Sam tidak pernah tertarik dengan wanita mana pun lagi. Hanya Katty. Dia berubah menjadi pria yang setia semenjak itu. Hingga ketika Katty memilih kehidupan bersama pria lain, Sam masih tidak tertarik untuk mencari pengganti.

Tidak ada yang sehebat Katty, Sam bahkan rela mati untuknya. Tidak ada yang seindah senyuman Katty, meski senyuman paling indah yang dimiliki Naela sebagai pembandingnya.

Benar, di suatu titik terkadang hati Sam tersentuh karena Naela. Tapi keadaan itu tak pernah mantap. Fluktuatif sekali. Ketika melihat Naela, dia lebih banyak merasa kasihan. Dia berlaku baik pada Naela, hanya semata-mata mengingat tanggung jawab atas nama pernikahan. Hanya semata-mata karena dulu dia telah membuat wanita itu melewati banyak penderitaan.

Selebihnya adalah abu-abu. Dia berada antara dua perasaan; biasa saja, tapi juga terkadang bahagia. Mungkin dia butuh suatu kondisi genting demi membuktikan kesungguhan perasaannya pada Naela. Sam berharap suatu hari nanti dia benar-benar bisa mengetahui seperti apa persisnya perasaan ini.

Tadi sebelum pergi ke hutan, dia singgah ke rumah Pak Ibrahim, pria paruh baya yang sudah ia kenal sejak 10 tahun lalu. Tujuan utama Sam hanya untuk meminta Pak Ibrahim mengantarkan ponsel kepada Naela. Tapi ternyata dia harus tertahan di rumah itu hingga satu jam kemudian. Ia dipaksa masuk dan menemani Pak Ibrahim sarapan sambil minum teh.

"Kalian bertengkar?" tanya Pak Ibrahim.

Sam tersenyum getir. Tangannya memutar-mutar gelas teh.

"Orang tua ini tidak ingin ikut campur, Sam. Lagipula masalah orang tua dan anak muda biasanya berbeda dunia. Kalian masih sibuk memperdebatkan perasaan masing-masing, sementara orang-orang seperti kami paling hanya memperdebatkan apakah kambing dan sapi sudah diberi makan. Kalian masih labil secara emosional. Itu wajar. Dulu ketika masih seumuran kalian, aku dan Safiye juga sering bertengkar. Tapi semakin bertambah usia, kami semakin paham makna sejati dari sebuah pernikahan."

Bu Safiye yang tadi sibuk mengaduk sesuatu dalam panci di atas kompor, kini ikut duduk menghadap meja makan.

"Tapi kulihat istrimu itu wanita baik-baik, Sam," ucapnya berpendapat.

"Iya. Dia memang baik. Sangat baik. Aku saja yang masih belum bisa memahaminya dengan baik." Sam menggeleng.

"Dia pemarah?" selidik Pak Ibrahim.

"Sama sekali tidak. Sejak dulu dia baik sekali. Tapi entahlah, aku tidak sengaja menyinggungnya tadi pagi."

"Tabiat umum wanita itu suka marah-marah kepada suaminya. Tidak mensyukuri pemberian suami. Berdasarkan penelitian, dalam sehari kaum perempuan bisa mengeluarkan sekitar 20 ribu kata, sementara pria cukup 7 ribu kata saja. Tidak heran, Sam, jika kemudian mereka umumnya bersifat cerewet, banyak bicara, suka beradu mulut, bahkan marah-marah. Jadi beruntunglah jika istrimu bukan tipe pemarah. Itu artinya kau mendapatkan wanita langka, Sam."

Di Tepian Musim Semi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang