MusimSemi-37

8.1K 742 164
                                    

Pintu yang menuju balkon kamar itu terbuka sejak pagi tadi.

Angin yang datang dari luar menggoyangkan gorden dan bunga dalam vas, sesekali benda-benda kecil di atas nakas ikut terseret jatuh ke lantai, menandakan bahwa musim semi kali ini tidak sedamai musim semi sebelumnya.

Perempuan yang kini meringkus di atas tempat tidur itu memilih memejamkan mata padahal ia tidak bisa kehilangan kesadaran sama sekali. Terkadang air mata merembes melewati kelopak matanya yang terkatup itu, memaksa keluar. Selimut yang ia tarik ke atas wajah sudah lembab, menandakan perempuan itu tidak henti-hentinya menangis.

Wahai siapapun, camkan ini baik-baik. Tidak ada yang lebih pedih melebihi pengkhianatan.

Lihatlah perempuan itu, perempuan baik-baik yang bahkan barangkali terbersit pun tidak dalam benaknya untuk berkhianat, namun hari ini ia dikhianati untuk yang kedua kali. Membayangkan laki-laki yang ia cintai berbagi tubuh dengan perempuan lain saja ia tidak sanggup, namun kali ini mau tidak mau ia harus menerima fakta bahwa hal tersebut sudah terjadi.

Ia bisa memaafkan semua dosa dan kekurangan suaminya, namun untuk pengkhianatan bahkan hatinya sendiri tidak sanggup menampung sakitnya. Tidak hanya sakit, Naela juga menyesal. Mengapa dulu ia memberi kesempatan pada laki-laki itu? Mengapa dahulu ia masih berharap laki-laki itu bisa berubah?

Sekarang di sinilah dia. Semua cinta, kesetiaan, pengorbanan, bagaikan bunga yang sengaja diserahkan kepada tangan sudah pasti akan menghancurkan. Hari ini bunga itu telah remuk, mahkotanya berceceran, dan tangkainya terpotong-potong.

Air matanya keluar lagi. Kedua tangannya mencengkeram erat sisi selimut.

Pukul sebelas tengah hari pintu kamar itu diketuk. Naela beranjak dengan malas, pergi ke kamar mandi dan membasuh wajah, kemudian ia keringkan sebaik mungkin agar bekas tangisnya tersamarkan. Setelah semuanya sedikit lebih baik, ia menyambar jilbab instan hitam yang sering ia pakai sehari-hari. Inilah repotnya kalau rumah dihuni oleh banyak orang yang bukan mahram, dia harus selalu berhijab bahkan untuk keluar kamar.

"Kak Nae," jerit Fatih dengan raut muka cerah. Rambut hitam kecokelatan yang bergelombang milik bocah itu menutupi dahi. Tanpa harus menunggu reaksi ibunya, bocah itu langsung saja memeluk kaki Naela.

Ada Husein yang berdiri di belakang Fatih, di kursi rodanya. Dia yang tadi menjemput anak itu di sekolah.

"Aku sudah bilang padanya bahwa Kak Naela sedang ingin istirahat, tapi anak ini luar biasa keras kepala." Husein bergeleng-geleng.

Naela tersenyum sekadarnya. Siapa pula yang masih bisa tersenyum di keadaan seperti itu.

"Terimakasih, Husein. Biarkan Fatih ikut aku."

Pintu itu ditutup setelah Husein sedikit mengangguk sebagai tanda mempersilakan.

Fatih, seperti biasa, kalau sudah masuk kamar Kak Naela pasti langsung ngeloyor ke atas tempat tidur dan main lompat-lompatan sampai capek. Kalau sudah capek, dia akan minta minum. Naela membiarkan saja.

"Kak Nae, Kak Nae habis nangis, ya? Kenapa? Ayo dong cerita ke Fatih," pintanya sehabis menenggak sebotol air. Ia menyandar-nyandarkan kepala ke pundak Naela sambil menengadah.

"Ha, nangis?" Naela pura-pura kaget. "Memang Kakak kelihatan seperti orang habis nangis? Nggak lah, Sayang. Kak Naela hari ini ngantuk berat, jadi tidur aja dari pagi, makanya jadi sembab begini."

"Kenapa tidur? Biasanya Kak Naela nggak pernah tidur pagi?"

"Kan itu biasanya. Kak Naelanya Fatih ini manusia biasa, kadang ada masanya tubuh Kak Nae nggak seperti biasanya. Memangnya Fatih bisa terus-terusan jadi anak baik tanpa pernah nakal sekali pun? Kemarin aja Fatih ngumpetin sandalnya Kak Ane sampe dia sibuk mencari keliling rumah."

Di Tepian Musim Semi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang