MusimSemi-29

18.6K 1.7K 200
                                    

KONTEN INI SEBAIKNYA DIBACA UNTUK 15 TAHUN KE ATAS. COBA KEMBALI KE BLURB, SAYA SUDAH MEMBERIKAN TAG (15+). BACA PERLAHAN, KARENA PART INI DI ATAS 4000 KATA DAN PADAT INFORMASI. JIKA TIDAK SUKA, SILAKAN TINGGALKAN TANPA PERLU BERKOMENTAR YANG TIDAK MEMBANGUN. TERIMAKASIH 😊

❄❄❄

Ruangan ini sangat luas, barangkali berukuran 6 x 6 meter. Warna yang mendominasi adalah putih dengan garis vertikal biru langit di salah satu sisi dinding. Terkesan sangat sederhana, namun juga elegan dan berkelas. Beberapa diagram-diagram yang membahas tentang psikologi manusia menghiasi dinding, juga deretan sertifikat dan foto-foto si pemilik ruangan.

Dua wanita itu duduk berhadapan. Salah satu dari mereka adalah wanita usia 40-an yang berambut lurus warna kecokelatan, dibiarkan tergerai menyentuh pundak. Dari penampilannya, terlihat jelas bahwa wanita ini punya tingkat profesionalitas yang tinggi. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang berbahan halus, celana jahitan warna biru langit, dan sebuah kaca mata duduk manis di atas hidungnya yang lancip, membingkai dua bola mata menawan berwarna cokelat.

Wanita kedua berwajah Asia Tenggara, sedikit terkesan Arab sebab bentuk hidung, dagu, dan kehitaman matanya. Dia mengenakan pakaian longgar warna biru pudar, kerudung pashmina oversize warna putih bermotif bunga-bunga kecil. Seperti biasa, wanita ini berwajah sendu seperti habis menangis, terlepas hari ini dia memang sungguhan habis menangis.

"My Dear, jujur padaku, kau pernah mengalami sex abusive?" tanya wanita berkemeja. Sebuah papan nama di atas meja bertuliskan Ellen Blunt, Psy.D sebagai informasi dia benar-benar berpendidikan tinggi di bidang psikiatris.

Wanita yang menjadi kliennya hari ini menghela napas. Bibirnya terkatup rapat. Ia menatap keluar jendela, tatapan yang melampaui gedung-gedung tinggi di seberang jalan.

"Tujuh tahun lalu," jawabnya dengan suara gemetar. Mata wanita ini mulai berkabut.

"Sorry, My Dear Naela." Ellen berkata lembut sekali, wajahnya penuh kasih sayang, barangkali kelemah lembutan termasuk salah satu kode etik para psikiatris mengingat profesi mereka masuk ke dalam ranah kejiwaan manusia. "Jika kau tidak keberatan, aku ingin tahu bagaimana ceritanya."

Naela, nama kliennya itu menatapnya sejenak. Butuh waktu bermenit-menit menunggu hingga ia sanggup bercerita, dimulai dari pesta yang ia hadiri tujuh tahun lalu hingga malam yang berakhir tragis.

"Lalu setelah itu?"

"Aku sama sekali tidak sadar di bawah pengaruh obat, hingga berakhir infeksi dan menderita demam tinggi selama seminggu. Aku sempat tidak sadarkan diri sepanjang 18 jam di rumah sakit. Dan sampai hari ini aku masih belum lupa seperti apa rasa sakitnya."

Ellen berdecak kesal, mendesis.

"Itu pemerkosaan. Kau tidak melaporkannya ke polisi? Kau punya bukti yang cukup kuat waktu itu."

Naela menggeleng. Untuk pertama kali ia berkata jujur tentang rahasia ini. Sebelumnya ketika ditanya oleh siapapun, bahkan Mariam, Naela selalu mengatakan bahwa dia sudah melapor, hanya saja kasus tersebut tidak diusut hingga tuntas. Padahal faktanya, dia memang tidak pernah melapor.

"Why?" Ellen tidak habis pikir. Kedua alis bertaut di tengah. Wajahnya iba dan prihatin.

"Something happened in the heart," kata Naela pelan namun dalam, seolah kalimat ini diucapkan dengan segenap hati dan jiwa. "Aku tahu jika aku melapor, dia tidak akan menang di peradilan. Apa yang sudah dia lakukan padaku tanpa perhitungan matang sebelumnya. Banyak jejak yang ia tinggalkan. Kurasa dia juga tengah dibutakan oleh keinginan sesaat. Bukti-bukti yang jelas akan menyeretnya ke penjara. Aku bisa memastikan hal itu, meskipun ada kemungkinan hukumannya akan ringan. Dia orang hukum dan tahu celah mana yang harus ia lalui demi mendapatkan keringanan hukum. Tapi tetap saja, aku tidak ingin dia dipenjara. Karirnya bisa hancur seketika."

Di Tepian Musim Semi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang