BAB 26

110 24 0
                                    

Matahari telah pulang keperaduan. Tersisa mega merah menyemburat pada kaki langit dengan begitu elok. Yuju pulang terlambat. Bahkan sangat terlambat! Gadis itu melangkah ragu mendekati Rumah yang bahkan sudah seperti surga untuknya. Kenangan, canda, tawa serta tangis bersama Ayah membaur dalam kotak memory. Tetapi faktanya, untuk kali ini Rumah itu lebih terasa dingin dibandingkan laut kutub selatan. Membuat aliran darahnya seolah-olah membeku dan berhenti mengalir. Tatapan acuh dan dingin dari sorot mata Ayahnya membuat gadis itu seolah terjebak dalam lemari es. Suasana rumah yang hanya dihuni dua orang menjadi amat sunyi, dingin  mencekam lantaran satu akar masalah. Padahal biasanya Ayah dan anak itu saling bercerita tentang apa yang dialami seharian ini.

"Aku pulang!" Ucap gadis itu. Tak ada sahutan meski sekedar deheman ataupun senyum sambutan dari Ayah yang kini duduk di ruang televisi. Pria itu, entah pura-pura sibuk menulis, atau memang tak mengetahui kepulangan Yuju.

"Ayah!" Ucap Yuju lagi. Gadis itu berharap Ayah mau menatap dan berbicara dengannya. Ia rindu Ayah, ia ingin membicarakan banyak hal pada pria nomer satu yang dicintainya.

"Hmmm... kukira kau lupa jalan pulang!" Ucapnya dengan nada semakin dingin. Seolah kata itu khusus disusun untuk Yuju yang sengaja pulang lebih dari terlambat. Membuat perang dingin yang mereka hadapi kian menjadi-jadi.

Jika boleh memilih, Yuju lebih baik dimarahi habis-habisan daripada seperti ini. Tatapan Ayah kali ini seolah-olah benar-benar tak peduli lagi apa yang ingin Yuju lakukan. Yuju lebih memilih dilarang ayah untuk melakukan ini itu, ketimbang dibiarkan bebas tanpa arahan. Daripada dibiarkan bebas semaunya tanpa aturan.

"Makan malam sudah siap! Kau makan saja dulu! Aku masih kenyang."

Ucapan Ayah yang menyebut 'Aku' dalam kalimatnya itu membuat Yuju merasa Asing. Seolah Ayah adalah orang lain. Bukankah saat bicara ia selalu menyebut dirinya 'Ayah', bukan Aku. Hal ltu terdengar asing ditelinga.

Yuju mengangguk pelan. Menatap sikap acuh tak acuh dari Ayah yang membuat seluruh aliran darah membeku. Juga karena sikap dan sorot mata dingin, sedingin es.

Tetapi Yuju tak bisa memprotes sikap ayah. Akar masalah ini murni berawal dari keinginannya untuk kuliah di Sanghai.

Yuju menyeret kakinya. Seolah terlihat benar-benar berat melangkah. Kemudian ia menggeser pintu kamarnya dan segera menekan sakelar lampu. Di lemparkannya ransel ke sembarang arah. Sebetulnya ia sangat ingin berbicara banyak pada Ayah, ingin meminta maaf. Tetapi sikap Ayah yang telah ia saksikan membuat gadis itu seolah-olah beringsut mundur. Ia tak yakin Ayah mau berbicara dan mau menatapnya.

Dengan hati dan perasaan lelah, gadis itu menjatuhkan tubuhnya dalam keadaan telengkup di atas kasur. Berusaha menangis tanpa menimbulkan suara. Untuk kali ini ia ingin menjadikan bantal guling sebagai sandaran.

Beberapa saat kemudian isakan itu kian berkurang. Intonasi nafasnya terengar teratur tanpa ada dengkuran. Yuju terpejam dengan cantik di atas  bantal motif air laut. Sepertinya gadis itu melewatkan makan malam untuk kali ini.

                   ==========
Pagi-pagi buta, di saat kini matahari belumlah memunculkan kemilau keemasan di ujung langit, Yuju dengan suara samar dapat mendengar seseorang mengetuk jendela kamarnya. Gadis itu masih memejam meski setengah alam sadarnya bisa mendengar suara-suara.

Sang pengetuk jendela tak menyerah sampai ia bisa membuat bangun sang empu kamar. Yuju membuka matanya dengan setengah nyawa yang baru berkumpul. Dikucek matanya berkali-kali dengan menatap jendela yang terus membunyikan ketukan.

Tak butuh waktu lama untuk berfikir membukakan jendela itu. Sebab ia amat tau siapa lagi yang biasa menemuinya lewat jendela kamarnya kalau bukan Yoseob.

I Think I Love You (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang