Suara riuh obrolan dari ratusan makhluk immortal memenuhi ruangan bernuansa roma klasik berwarna putih di pagi ini. Teriakan histeris hingga percakapan penuh gairah emosi oleh peserta didik baru menjadi sebuah pemandangan lumrah di lingkungan Aula Sekolah Bangsawan Ilargia.
Terlihat pula beberapa siswa baru mulai mencari momen untuk menjadi pusat perhatian di kalangan siswa lainnya. Bahkan beberapa di antara mereka tengah mencoba memikat dengan tampil mempesona.
Namun, tak semua merasakan kenyamanan akibat kebisingan yang tercipta di aula utama tersebut. Beberapa makhluk dengan kekuatan sensitivitas pendengaran mulai menggunakan earphone demi tidak mengacaukan sensor murninya. Mereka duduk dengan nyaman dan mengabaikan teman yang sedari tadi wajahnya tertekuk masam akibat tak mendapat respon balik dari sang lawan bicara.
"Dave, aku berbicara padamu," gerutu seorang gadis seraya menguncir rambut coklatnya yang tergerai panjang.
Sang pemilik nama tak kunjung merespon hingga membuat gadis mengerucutkan bibir merah mudanya dan membuang pandangan ke arah lain.
'Oh ayolah, apakah aku harus berdiam tanpa teman berbicara jika pendengarannya terlalu sensitif,' gerutunya kembali di dalam pikirannya.
Sedari tadi Ametta merasa tak nyaman dengan kelakuan David yang terus mendengarkan musik.
Berbanding terbalik dengan David, lelaki berambut coklat mahoni itu tampak acuh dengan lingkungannya. Tidak, dia tetap selalu memperhatikan gerak-gerik Ametta yang terus terlihat sebal dengan sikap masa bodohnya. Sesekali dia tersenyum simpul menahan tawa yang hampir meledak.
Sejujurnya, David mampu mengatasi berisik yang terus-menerus meneror rumah siputnya. Pendengaran tajamnya hanya tak terbiasa mendengarkan celotehan gosip dari makhluk-makhluk pencari eksistensi. Baginya, jika terus mendengarkan hal-hal tanpa bukti nyata tersebut hanya akan membuat telinganya jengah.
"Bumi kepada David Gray, kau masih bisa mendengarkanku bukan?" tanya Ametta dengan tatapan jengkel.
Mendengar nama jelasnya disebutkan, David menyampirkan earphone berwarna hitam metalik tersebut ke leher jenjangnya. "Am, jangan menyebut margaku," pintanya setengah berbisik.
Memahami maksud sahabatnya, Ametta segera mengangguk pelan. "Maafkan aku, Dave," cicitnya.
"Jadi, kenapa kau terus mengajakku berbicara? Kau merasa tak nyaman?"
Gadis bermanik hijau itu mengangguk. Jemarinya saling bertaut erat. Entah mengapa hari ini perasaannya begitu tak nyaman. Seakan dia mampu merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Entahlah, tapi aku merasa gelisah, Dave," akunya lirih.
"Ingin mencoba ke taman setelah pelantikan nanti?" tawar pemuda itu. Segera gadis di sampingnya mengangguk semangat dengan mata yang berbinar.
"Oh iya, apa Garvin sudah menghubungimu?"
Gadis itu menggeleng. Raut wajahnya kembali masam seperti sebelumnya. "Belum. Bahkan ponsel ini terasa tak berguna sekarang, Dave."
David terkekeh. Dilihatnya sebuah ponsel merek ternama yang tengah menampilkan sebuah foto Ametta bersama Garvin di layarnya. Sebuah foto yang begitu menunjukkan betapa bahagianya sepasang insan dimabuk asmara. "Ah, mungkin saja dia sedang di jalan menuju ke sini. Ayolah bersabar lah sedikit."
"Mungkin saja, Dave," jawabnya setengah ragu.
Belum semenit mereka membicarakan kekasih Ametta tersebut, Garvin masuk mengenakan kemeja merah maroon yang lengannya digulung setengah. Kali ini penampilan pemuda itu mampu menarik perhatian gadis-gadis yang dilewatinya. Namun raut wajah mereka perlahan berubah tak suka melihat seorang gadis cantik beriringan langkah dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOONCHILD : The Vampire's Legend
VampireAltha tersesat memasuki sebuah hutan terlarang setelah dikejar beberapa penjaga wilayah perbatasan. Gadis itu terjebak di wilayah makhluk-makhluk immortal yang tak boleh diketahui manusia awam dan mengalami kehilangan sebagian memori. Demi menyelama...