ALTHA berjalan beriringan dengan dua beradik Dalton. Sedari tadi gadis itu terus diawasi akibat perubahan kesehatan yang drastis pada tubuhnya. Sesekali Anna bertanya hal yang terus dijawab gadis itu dengan anggukan kecil.
Tak berbeda jauh dengan sang adik, Alex tampak melirik dengan raut khawatir. Bukan karena dia jatuh hati kepada gadis yang sempat membuatnya terpesona itu, tetapi ia merasa jika Altha adalah tanggungjawabnya. Lebih tepatnya sejak pemuda itu bertemu Altha di hutan dengan keadaan tak sadarkan diri. Bagi Alex, pertemuan diantara mereka memiliki makna tersendiri. Walau di satu sisi, Alex begitu penasaran bagaimana tunangan Demian itu mampu menembus dinding perbatasan yang diciptakan para leluhur Ilargia dan manusia.
"Altha." Alex membuka suara dan membuat sang empu menoleh kepadanya.
"Ada apa, Alex?" tanya Altha lirih. Ada nada kesakitan dalam setiap untaian kata yang diperdengarkan ke telinga Alex.
Setiap detik, gadis itu semakin terlihat pucat meski dia bersusah payah tersenyum. Tentu membuat Alex dirundung keraguan untuk menuntaskan rasa penasarannya. Bagaimanapun dia cukup segan jika perjanjian yang telah disepakati keluarga Radford dan Dalton mengenai Altha menjadi berantakan.
"Tidak jadi," elak Alex dengan tersenyum tipis.
Altha memalingkan wajahnya, melihat bagaimana ekspresi Alex saat ini. "Bicaralah. Aku masih sadar dan mampu menjawab pertanyaanmu."
Alex melirik sejenak. Berupaya menimang untuk mengutarakan pertanyaan yang mengganggunya. Pun, raut wajah pemuda itu tak dapat membohongi Altha--dan Anna--yang terus menatap harap-harap cemas ke arahnya. "Aku hanya ingin bertanya, di mana kamarmu?"
Altha terkekeh samar diselingi dengan batuk kecil. "Hanya itu saja?"
Gadis itu masih berupaya untuk tetap terlihat kuat meski di hadapan Dalton bersaudara, membuat keduanya semakin menaruh simpati berlebih kepada gadis dari kalangan manusia itu. Bahkan di pandangan mereka, Altha terlihat tangguh dan tak memanjakan sakit yang mendera tubuh rampingnya.
"Ya. Untuk memastikan jika adikku tidak menyasar saja."
Mendengar penuturan saudara kandungnya, Anna mendelik. "Hei, kau kira aku balita? Aku bisa penghapal yang baik, Alex."
"Aku hanya tak ingin jika Altha repot dengan sikap panikmu ketika pelupa." Alex melakukan pembelaan walau akhirnya mendapat balasan berupa tatapan tajam dari Anna.
Meski sering berdebat, Anna tak pernah berniat untuk meneruskannya. Gadis itu selalu berprinsip untuk memilih kalah dibandingkan bersiteru dengan Alex. Pun, kini sebuah spekulasi berbumbu kecurigaan terhadap kalimat Alex muncul begitu saja di otaknya. Tentu ditambah dari gelagat aneh Alex yang sempat menggosok kepalanya yang dipastikan tidak gatal apalagi berketombe. Sebuah ciri-ciri yang sangat dihapal Anna sebagai pertanda menutupi sesuatu.
Namun, berbeda halnya dengan Altha. Gadis itu malah tersenyum penuh kelembutan. "Tidak, asrama putri cukup mudah untuk dihapal. Kami akan baik-baik saja," balas Altha seakan memahami tujuan pertanyaan Alex.
"Ah baiklah," Alex mengangguk, "kalau begitu, aku akan meninggalkan kalian berdua untuk mempersiapkan pesta penyambutan nanti."
Seolah tersihir dengan perkataan Alex, sang adik menepuk dahinya keras. "Astaga, kita juga harus mempersiapkannya!"
"Apa yang harus dipersiapkan?" tanya Altha lirih.
"Sungguh kau tak punya persiapan?" Anna melongo diiringi gelengan pelan dari Altha.
Dengusan napas keluar begitu saja dari Anna. Gadis itu segera menggamit lengan Altha, melupakan Alex yang masih berada di dekat mereka. "Ayo kita persiapkan!" seru Anna antusias, "dan kau, Alex, pergilah! Kau hampir menginjak wilayah asrama putri."
KAMU SEDANG MEMBACA
MOONCHILD : The Vampire's Legend
VampireAltha tersesat memasuki sebuah hutan terlarang setelah dikejar beberapa penjaga wilayah perbatasan. Gadis itu terjebak di wilayah makhluk-makhluk immortal yang tak boleh diketahui manusia awam dan mengalami kehilangan sebagian memori. Demi menyelama...