ALEX menyodorkan sebuah botol air mineral yang segera disambut Anna dengan cekatan. Sang sulung dari keluarga Dalton terus-terusan menampakan raut cemas bercampur kesal.
Sesekali dia masih membuang napas secara kasar ketika Anna terus mogok bicara setelah berdebat sepanjang perjalanan. Menurutnya, Anna tak pernah berubah. Sifat keras kepala masih terus bersarang dalam raga gadis itu sekalipun umurnya tak menunjukan usia kanak-kanak.
"Sudah merasa baikan?" Pemuda itu beritikad untuk menegur sang adik duluan.
"Ya, terima kasih." Anna menutup pelan botol air mineral bersisa setengah di tangannya. Peluh yang menetes diseka pelan menggunakan telapak tangan. Raut wajah gadis nan belia itu mulai menunjukan tanda-tanda ketenangan. Meski pusat perederan darahnya masih berdegub kencang, menahan serpihan amarah kepada Demian.
Tak ayal dengan Altha. Gadis yang menjadi topik perdebatan kedua saudara itu turut bungkam. Sesekali tangannya memijat pelipis pelan. Berharap jika rasa pening yang menyiksa sel abu-abunya segera enyah dari kepala.
"Apa kau sedang sakit?" tanya Alex dan disambut gelengan kepala oleh Altha.
"Sungguh? Tapi kau sangat pucat," balas Alex. Intonasinya menurun drastis seirama dengan rasa khawatir yang ditunjukkannya.
Anna ikut menilik wajah teman barunya itu. Inci demi inci wajah Altha ditelusuri, mencari ciri-ciri fisik seseorang yang sakit. Namun dia tak menemukan apa yang sesuai dengan pikirannya.
Spontan, telapak tangan Anna memegang dahi Altha. Gadis bersurai pendek itu berusaha memastikan satu ciri-ciri orang sakit yang tak terlihat secara kasat mata. Suhu tubuh yang meningkat.
Kedua bola mata gadis itu melotot seiring temperatur Altha yang menjalar ke tubuhnya. Dijauhkan tangan kecil miliknya dari dahi Altha. "Astaga, apa kau berbohong? Tubuhmu tak sama dengan perkataanmu!"
Alex menepuk pelan punggung tangan Anna. Pemuda itu berupaya menyingkirkan tangan Anna yang melekat di dahi Altha. Setidaknya dia tak ingin membuat kehebohan dengan teriakan khas dari seorang Anna. Apalagi sikap sang adik yang mudah panik membuatnya gemas.
"Kau itu werewolf. Jelas tubuhmu yang panas, bukan dia."
"Eh?" Anna melongo, "maksudmu?"
"Coba kau pegang sendiri tubuhmu," titah Alex.
Anna memegang pelan bagian tubuhnya yang dapat disentuh. Gadis itu mencoba memastikan jika perkataan Alex bukan bualan semata. Hingga selang beberapa detik, rasa hangat kembali menjalari sensor telapak tangannya. Menciptakan sensasi serupa dengan Altha.
"Alex, apakah aku juga sakit?" tanyanya polos.
Alex terkekeh. Adiknya begitu lugu seperti bayi yang baru saja dilahirkan. "Kau tidak sakit, Ann. Ayolah, kukira kau sepintar itu."
"Maksudmu aku bodoh?" tanya sang bungsu seraya menunjuk diri sendiri.
Alex menggeleng pelan. "Entahlah. Mungkin kau hanya sedikit...em, kurang sehat?" Telunjuk pemuda itu bergerak diagonal di dahinya.
"Hei, enak saja! Aku hanya sedang susah berpikir jernih karena sikap Demian sialan itu terhadap Altha." Anna memberikan pertahanan terhadap argumen konyol sang kakak, mengabaikan Altha yang kini menatapnya jenuh.
Seolah tahu maksud perkataan sang bungsu, Alex berpura-pura prihatin. Meski sebenarnya dia hanya ingin membalas dendam atas pertikaian kecilnya bersama sang adik beberapa menit lalu. Intonasi pemuda itu ditekan selembut mungkin untuk menghindari sentimen gadis bersurai pendek di hadapannya.
"Sudahlah, tak ada gunanya. Bukankah kau harus belajar mengontrol emosimu?"
Anna menengadahkan wajahnya seirama kilatan emosi dari sepasang netra indahnya. "Tapi aku tak suka jika dia memperlakukan perempuan seperti itu. Dia pikir, menjadi penerus takhta keluarga vampire lantas bisa berbuat semena-mena?" umpatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOONCHILD : The Vampire's Legend
VampireAltha tersesat memasuki sebuah hutan terlarang setelah dikejar beberapa penjaga wilayah perbatasan. Gadis itu terjebak di wilayah makhluk-makhluk immortal yang tak boleh diketahui manusia awam dan mengalami kehilangan sebagian memori. Demi menyelama...