15-QUINDICI

6.8K 510 25
                                    

SEDARI tadi Felix terus menatap ke arah Demian. Pemuda itu berdecak pelan menatap sahabatnya yang terus mengintip keberadaan Altha.

Entah mengapa hari ini pemuda bermata empat itu merasa geli melihat kelakuan Demian yang tampak penasaran dengan kehadiran Altha. Pemuda itu terlihat sibuk berpikir lalu tersenyum tipis. Kali ini dia sungguh ingin mengetahui apa niat sebenarnya Demian.

"Aku tahu kau sedari tadi menguping pembicaraan kami, Demian."

Merasa terpanggil, Demian melirik sekilas ke arah tangan kanannya itu. Dengusan sebal keluar begitu saja dari kedua lubang hidungnya. "Aku rasa kau penguntit sejati dibandingkan aku," sindirnya pelan.

Langkah Felix terhenti. Mulutnya menganga lebar membentuk huruf 'O'. Di balik kacamata persegi hitam itu kedua bola matanya melotot tak percaya ke arah Demian yang begitu santai menyindirnya.

"Hei, kurasa kau seharusnya tidak tinggal di tempat penuh cahaya matahari, beruang kutub Radford."

Lagi, Demian hanya melirik sekilas ke arah Felix. Ketidakpedulian begitu menguasai suasana hatinya hari ini. Bahkan raut wajahnya diatur sedatar mungkin agar tidak terpancing cemoohan sahabatnya. "Aku malas berdebat."

Felix menggeram. Kali ini dia begitu gemas ingin menendang Demian hingga ke Antartika. Setidaknya agar dia tahu jika sifat dinginnya sama persis dengan suhu yang berada di benua terdingin tersebut.

Kedua tangan pemuda itu disilangkan ke depan dada lalu menggeleng demi menjauhkan angan-angan menendang Demian jauh dari hadapannya. "Hei, apa katamu? Aku juga tidak berminat berdebat denganmu, wahai Pangeran Antartika," sarkasnya.

Sontak Demian berbalik. Tatapan yang semula dibuat setenang mungkin akhirnya berubah menjadi nyalang. "Apa kau tidak punya urusan lain selain menggangguku hari ini?"

'Keterlaluan, aku ini tangan kananmu dasar Beruang Kutub sialan.'

"Aku mendengar apa yang kau pikirkan, Felix."

"Ya. Justru karena aku tangan kananmu lah, aku harus mengetahui keberadaanmu oh Pangeran Vampir Radford."

Tak ada jawaban. Demian justru hanya menghela napas dan kembali menatap dengan ekspresi datar ke arah Felix.

Sebaliknya, Felix semakin dibuat jengkel oleh Demian. Maksud hatinya ingin menggoda pasangan Altha itu, namun malah dia yang mendapat batunya.

"Aku tak mengerti jalan pikiran beruang kutub satu ini," batinnya.

"Kau tak perlu mengerti. Cukup duduk manis seperti Aluna."

Felix terhenyak. Selama tiga detik dia mengingat siapa sosok yang disebutkan Demian.

"APAAA? Kau menyamakanku dengan anjing puddle milik kerajaan?" raut tak percaya terlukis jelas di wajah kotaknya, "Ya, terima kasih atas pujianmu, Tuan Muda. Aku permisi."

"Ya, lebih baik kau pergi dasar penguntit," usirnya dengan nada lembut.

Seiring hembusan angin di koridor itu, Felix telah meninggalkan Demian seorang diri. Pelan-pelan pemuda itu beringsut menyusul Felix, meninggalkan koridor tempat perdebatan mereka.

Tanpa disadari, sedari tadi terdapat Altha di balik pintu kamar. Mendengarkan perdebatan kecil dua orang pemangsa kaumnya.

"Jadi, apakah seperti itu seorang Demian?"

***

"Garvin?"

Sebuah suara pelan-pelan membangunkan seorang pemuda yang sedari tadi tertidur pulas di sofa. Mengusik rasa kantuk yang terus membuatnya ingin terlelap.

MOONCHILD : The Vampire's LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang