SEPASANG manik berwarna biru menatap lekat ke angkasa. Pandangannya begitu tenang seiring pikiran yang telah melalangbuana. Sesekali pemilik netra tersebut menghela napas hanya untuk membuang jauh-jauh berbagai opsi aneh di otaknya.
Entah mengapa, kali ini sang pemilik raga begitu jenuh mendapati kejadian tak terduga yang bertubi-tubi. Baginya, keinginan terbesar saat ini hanya ingin tak terusik. Sebagaimana dia tak pernah mau mengusik kehidupan orang lain.
"Sudah kubereskan semua." Sebuah suara membuyarkan pikiran sang pemilik obsidian indah tersebut. Lirikan mata dan dehaman hanya menjadi balasan singkat.
Helaan napas sang pengusik lamunan terdengar jelas di indera pendengaran sang pemuda yang kini tengah duduk sendirian. Mencoba terus memaklumi sikap lawan bicaranya.
"Kurasa suasana hatimu tidak pernah bisa kutebak sejak kejadian itu," sang pengusik mengusap wajahnya, "sampai kapan kau terus-terusan membenci mereka, Demian?"
"Sampai aku mati, Felix," balas Demian acuh.
Felix menggelengkan kepalanya. Dalam pandangannya, Demian berupaya memberikan tembok pembatas kepada orang-orang di sekitarnya. Meski pemuda itu tahu jelas alasan mengapa sahabatnya berperangai demikian.
"Aku sudah memaafkannya. Lupakan saja kejadian itu."
"Tapi tidak denganku. Aku tak akan memaafkan mereka yang berani bekerjasama dengan Rebelion," pungkas Demian.
Tersirat jelas melalui kedua bola mata sang pangeran vampire itu, sebuah amarah yang terjebak dalam relung hatinya. Emosi terpendam sejak masa seratus tahun lalu. Masa dimana semuanya berubah seakan mengikuti kehendak semesta dan membuatnya terperangkap dalam dendam. Ya, Demian adalah orang yang terlalu mudah untuk tidak melupakan kenangan tersebut.
"Apa salahnya mencoba berdamai dengan masa lalu? Setidaknya itu membuatmu tenang ketika berada di sini," nasehat Felix seraya menatap serius ke arah Demian dari jauh.
"Bodoh," gumam Demian.
"Aku tidak cukup bodoh untuk melupakan semua itu. Tapi jika kau terus memasang tembok tinggi di seluruh sisi, maka kau yang cukup bodoh untuk tidak belajar peka terhadap kasih sayang dari orang di sekitarmu."
Demian memalingkan pandangan. Membuang perlahan amarah dan menatap kembali ke arah Felix. "Itu bukan hal bodoh," belanya.
Felix membenarkan kacamata. Lalu menyilangkan kedua tangannya, "Dengar, ketika kau mampu memaafkannya, bukan berarti kau memilih hal bodoh. Itu adalah sesuatu yang pintar dan bijak."
Dalam sekejap, pemuda itu telah berada di sebelah Demian. Felix memasang wajah 'masa bodoh'-nya demi mengabaikan tatapan tajam dari seorang pangeran vampire yang terkenal akan sikap dinginnya. "Kau adalah calon raja. Setidaknya mulai lah belajar untuk menjadi sehangat matahari."
Demian terkekeh pelan. Kali ini kata-kata Felix cukup menghibur dirinya yang dilanda amarah. "Berhenti bersikap seakan-akan kau seorang pujangga cinta."
"Hei, aku serius," cibirnya, "kau itu seharusnya berdamai saja dengan masa lalu. Toh dia tak akan pernah kembali."
"Dia tak ada karena sekutu Rebelion sialan itu!" cecar Demian sengit. Amarah pemuda itu kembali menguar seiring Felix yang terus mengungkit masa lalu.
"Mulailah membuka hati. Tak ada yang salah jika kau menyukai orang lain." Felix menepuk pelan pundak Demian. Mengundang pelototan dari sahabat sepermainannya itu.
"Aku tak akan pernah jatuh hati dengan manusia. Kau tahu jelas alasannya, bukan?"
"Manusia tetap makhluk yang patut diberi cinta sebagaimana dia mencintai orang-orang terkasihnya. Yah, walaupun darahnya adalah nutrisi utama bagi kita," jelas Felix sambil menatap langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOONCHILD : The Vampire's Legend
VampireAltha tersesat memasuki sebuah hutan terlarang setelah dikejar beberapa penjaga wilayah perbatasan. Gadis itu terjebak di wilayah makhluk-makhluk immortal yang tak boleh diketahui manusia awam dan mengalami kehilangan sebagian memori. Demi menyelama...