35. kekecewaan Ghibran

1.2K 27 2
                                    

"Takdir adalah alur cerita yang diciptakan Allah untuk semua umatnya.
Tak ku sangka, menjadi Istrimu ternyata adalah salah satu seleksa peristiwa yang di kuterima."
***

Hari ini, Leefa benar-benar bimbang dengan perasaannya. Ia tau, tak seharusnya ia berlaku seperti ini. Tiba-tiba menghilang dari suaminya .Meninggalkan putrinya yang sekarang menjadi kebimbangan terbesarnya.

Leefa merasa. Semakin hari takdir hidupnya semakin kehilangan nyawanya.  Entah mengapa, arus takdir ini selalu membuatnya berujung pada titik menyakitkan.

Leefa harus bagaimana menghadapi pernikahannya yang goyah bahkan hampir roboh. Sudah di uji sebelumnya, dan ujian kali ini rasanya Leefa tak akan sanggup lagi.

Cepat atau lambat. Sakit ini akan memisahkan Leefa dengan dunia. Memisahkan dengan raga orang-orang yang menjadi kecintaan. Rindu akan terbentang luas, karena kepergian ini tak akan ada temu sebagai obatnya.

Tak ada mimpi yang perlu diwujudkan jika untuk memenuhi keinginan masa-masa Leefa tinggal di dunia. Karena bagi Leefa, bisa menikah dengan laki-laki yang ia cinta dan memiliki anak dari laki-laki yang sekarang jadi suaminya adalah anugrah yang lebih dari cukup yang telah Allah berikan.

Jika di tanya berjuang lagi atau menyerah maka jawaban Leefa adalah Pasrah.

Tubuh Leefa terbujur kaku, matanya terpejam, namun bulir-bulir yang yang jatuh itu tak mampu berdusta bahwa Leefa sedang menangis.

Metta dengan hati pilu dengan setia memegang tangan Leefa yang merupakan sahabatnya.

Kemoterapi yang selama ini di jalani Leefa sungguh menyayat hati Metta. Metta mampu merasakan ujian yang Leefa terima.

Metta sebenarnya tak bisa tinggal diam untuk tidak memberitahuan tentang sakit Leefa kepada Ghibran. Namun, karena permintaan Leefa, Metta sudah terlanjur berjanji untuk tidak memberitahukan apapun kepada Ghibran.

***

Di sisi lain, Ghibran tengah gundah dengan perasaannya. Ghibran tak habis fikir dengan istrinya. Sudah kesekian kali, istrinya tiba-tiba menghilang tanpa kejelasan.

Rasa marah dalam diri Ghibran lebih mendominasi akan sikap istrinya yang sudah pernah diperingati namun tak bisa mengerti.

Ghibran mengancingkan kemejanya dengan angkuh, tatapannya menghunus sangat dingin. Ia merasa masalah sungguh bertubi-tubi menimpanya.

Tiba-tiba Ghibran mendengar suara tangisan anak-anak. Yang bisa dipastikan itu adalah tangisan putrinya.

Ghibran segera menuju kamar Alina. Tak tega rasanya. Mungkin ini adalah resiko menikah dengan wanita yang usianya masih muda. Leefa telah kehilangan tanggung jawabnya dalam merawat suami dan anaknya.

"Bundaaaaaaaa" Teriak Alina dengan isak yang menggema di dalam kamarnya.

Ghibran mengulurkan tangannya untuk menggendong putrinya yang memiliki bobot tubuu yang berat.

Ghibran merogoh ponselnya untuk menghubingi seseorang.

"Hallo... "

"iya saya butuh bantuan kamu, tolong ke rumah"

"iya, baik, terimakasih"

Ghibran memutuskan untuk tidak membawa Alina sekolah.

Tak lama, seseorang yang tadi Ghibran telfon mengetuk pintu.

Tok tok tok.

Wanita itu adalah Anisa. Ghibran akan menitipkan Alina kepada Anissa untuk sementara.

Alina dari tadi tak bisa menghentikan tangisnya. Ia selalu menanyakan keberadaan Bundanya.

"Alina mau Bunda papa, huaaaaa hiks."

"Alina sayang. Untuk sementara Alina sama tante Anissa dulu yah," ucap tenang Ghibran kepada putrinya.

"ngaaa maauuu hiks."

"Sini sama tante sayang" Anissa mencoba menggendong Alina.

Alina meronta, membentak tidak mau jika harus bersama Anisa.

"ALINA," teriak Ghibran.

semua seisi rumah bungkam, termasuk Alina yang berhenti dari isakannya, namun bulir-bulir air mata masih deras, bahkan lebih keras dari sebelumnya.

Rasanya ingin menangis, namun karena bentakan ayahnya, rasa takut lebih mendominasi.

Anisaa mengulurkan tangannya kembali untuk menggendong Alina. Dengan lemas Alina menerimanya. Alina diam seribu bahasa. Ia takut dengan ayahnya.

KESEMPATAN TERAKHIR(On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang