UAS

493 87 158
                                    

    Pagi yang segar, dan udara masih bersih karena belum tercemari polusi. Jalanan masih sepi, hanya sesekali dilewati tukang sapu dan pedagang sayur. Deka masih asyik membalut diri dengan selimut, dan bermalas-malasan di kasur. Ia sudah bangun sejak tadi, hanya saja mengangkat tubuh dari kasur adalah ujian yang berat baginya.

Tapi diluar pintu kamar, ayahnya sudah berseru menyuruhnya bangun. Deka hanya tinggal dengan ayahnya dan Bang Darel. Sejak kecil, ia tidak mengetahui keberadaan ibunya. Deka enggan terus bertanya pada ayahnya, karena hal itu akan menjadikan ayahnya sedih. Jadi ia memilih menyimpan tanya itu seorang diri.

“Deka kalau nggak bangun-bangun papah siram nih!” Seru Papah.

“Bentar pah! ini lagi beresin kasur!” Seru Deka padahal ia sedang bersiap tidur lagi.

“Lima menit nggak keluar, kamu nggak dapet jatah sarapan!”

Segera Deka beranjak dari kasur, dan menemui ayahnya. Matanya masih merah, pertanda bahwa ia belum sadar sepenuhnya. Dengan langkah malas-malasan, Deka turun menuju meja makan. Bang Darel sudah terlebih dahulu duduk disana. Walaupun cowok, bang Darel lebih rajin ketimbang Deka.

“Perawan kok bangunnya siang, kalah sama gue yang cowok,” Bang Darel mulai memancing amarah Deka.

“Lah suka-suka perawan dong, nggak ada hubungannya perawan sama bangun siang,”

“Tuh, Pah, Deka kalo dibilangin ngejawab terus,” Ucap Bang Darel.

“Kamu juga kalo papah bilangin ngejawab terus,” Balas Papah.

Mendengar itu Deka tak henti-hentinya tertawa. Salah siapa abangnya itu hobi mengejek, kena sendiri akhirnya. Ayah mereka memperlakukan kedua anaknya sama, dan berusaha bersikap netral. Dikarenakan hanya kedua anaknya ini yang ia punya sekarang, istrinya pergi meninggalkan mereka saat Deka masih kecil. Tidak ada lagi bahasan tentang ibu mereka dirumah ini, seperti mengungkit-ungkit hal itu adalah tabu.

“Deka! Perempuan kok ketawanya keras banget!” Tegur Papah.

Kini giliran Bang Darel yang mentertawainya. Ia puas melihat Deka balas dimarahi. Sebenarnya tak jarang mereka berdua akur, hanya saja terasa ada yang kurang kalau pagi-pagi belum saling ledek. Ayah mereka tentu sudah tidak kaget pada situasi seperti ini, sudah menjadi rutinitas kalau hampir setiap pagi keduanya berantem.

*** 

Pagi belum berlalu, namun jalanan sudah mulai dipenuhi lalu lalang kendaraan. Deka sudah siap dengan motor matic kesayangannya. Kalau hari ini tidak ada UAS, tentu Deka akan berangkat lima menit sebelum gerbang ditutup.

Namun ia tidak mau terlambat kali ini, Deka juga sama sekali belum belajar karena semalam ketiduran. Ia akan sampai di sekolah lebih awal, sehingga bisa belajar sebentar. Walaupun ia sebenarnya ragu, karena kalau sudah bertemu Ratu dan Syanin yang ada malah ngobrol bukannya belajar.

Setelah sampai di sekolah, Deka segera memarkirkan motor. Ia memilih parkir di dekat gerbang, tentu saja biar bisa cepat pulang. Bagi Deka, sekolah hanya untuk menunggu waktu pulang dan mendapat uang saku. Memang pikirannya sungguh sempit. Berbeda dengan Hima, yang Deka lihat baru saja selesai salat dhuha. Sedangkan Deka boro-boro salat dhuha, subuhnya saja sudah terhitung dhuha.

“Deka... sini De!” Seru Hima.

Deka meneruskan langkahnya, seolah tidak ada apapun. Dia masih ingat kalau kemarin Hima sudah pamer lolos seleksi, jadi Deka memutuskan untuk ngambek.  Tapi sebenarnya dia penasaran juga sih apa yang akan Hima bicarakan, jarang-jarang kan Hima nyapa duluan. Namun rasa penasarannya berhasil dikalahkan gengsi, jadi Deka masih bisa menahan diri untuk tidak menoleh. Biasanya kan Deka yang terlihat murahan, mengejar-ngejar Hima kemana-mana kini giliran Hima yang ngejar dia.

“Deka lo kenapa sih?” Tanya Hima setelah berada di jarak yang cukup dekat dengan Deka.

“Apasih tanya-tanya!” Jawab Deka dengan lagak judes.

“Nggak biasanya lo kayak gini, lo marah ya sama gue?”

Tanpa harus dipaksa, Hima langsung peka kalau Deka sedang marah padanya. Giliran urusan begini saja dia peka, coba kalau masalah hati. Bahkan sudah Deka katakan secara terang-terangan, namun tetap saja Hima berlagak tidak peka soal perasaan Deka. Oke, Deka memang tidak berharap dibalas, namun paling tidak Hima peka dong kalau perasaan Deka bukan main-main.

“Kalo gue marah lo mau apa?!” Balas Deka sewot.

“Emm... mau apa ya? enaknya gimana nih?” Ucap Hima sambil menaikturunkan alisnya.

“Apaan sih! gue serius!”

“Minta diseriusin neng?” Goda Hima sambil melempar senyum mautnya.

“Tauk ah! kenapa senyam-senyum? mau sok ganteng?!”

Ini orang kenapa jadi sensi begini ya? serem juga gue liatnya -Hima

“Lah emang ganteng kan?” Tanya Hima

Jadi begini sodara-sodara, kelemahan orang ganteng adalah suka lupa diri –awtor

“Nanti banyak yang suka! Biar gue aja,” Ucap Deka

Mau dikatakan apalagi, kalau jurus tamvan babang Hima sudah dikeluarkan Deka suka khilaf kalau lagi ngambek. Tadi itu sebenarnya hanyalah keceplosan belaka, namun ada unsur gombal juga sih. Deka tidak bisa menahan diri untuk tidak menggombal sehari saja, setelah sadar dia kembali ke mode ngambek lagi.

“Lupakan! Gue mau ke kelas, jangan ngikutin. Bye!” Seru Deka.

***

Bodohnya Deka, gara-gara terlalu lama meladeni sapaan Hima dia jadi lupa kalau waktu terus berjalan. Mau bagaimana lagi, kalau seorang Deka sudah bertemu Hima waktu terasa berputar begitu lambat. Seperti memberi jeda untuk dua insan ini sekadar bertukar sapa.

Tapi waktu suka kelewatan, terlalu asyik membiarkan Deka kasmaran sampai lupa kalau Deka juga butuh belajar. Belajar menerima kenyataan, kenyataan bahwa dia belum belajar. Sebelum buku pelajarannya dibuka, dengan lancangnya bel jam pertama berdering mendahului. Tidak ada lagi harapan untuk si malang Deka.

“De kalo mim bertemu...” Syanin menghentikan kata-katanya ketika Deka menempelkan jari telunjuknya pada bibirnya.

Kalau kalian mau tahu, Deka benar-benar depresi sekarang. Masih mending kalau sehari-hari ia memperhatikan, paling tidak masih ada ingatan dari penjelasan guru. Tapi yang ia ingat justru hal-hal absurd yang biasa muncul dimimpinya.

Deka tidak bisa menyalahkan dirinya, namanya orang ngantuk biasanya kan jadi tidur. Deka sudah tidak tahu lagi akan bagaimana nasibnya nanti. Ketika itu juga datanglah sang pencerah, yang walaupun tak beradab kadang ia bisa bijak juga. Siapa lagi kalau bukan sahabat senasib sepenanggungannya, kita sambut... Ratu.

“De, nilai bukan segalanya. Di akhirat nanti nggak ada yang nanya berapa nilai UAS lo, nanti kita remidi bareng-bareng,” Ucap Ratu kebetulan mapel UAS hari ini adalah PAI.

Ratu seperti malaikat tanpa sayap bagi Deka. Mereka langsung berpelukan, dan berjanji akan kembali bertemu di saat remidi nanti. Dengan berat hati Deka dan Ratu saling berpisah, dikarenakan abjad nama yang terlampau jauh keduanya berada di ruang yang berbeda. Deka memasuki ruangannya, sebenarnya ia masih tidak tahu duduk dengan siapa. Setelah menemukan nomor meja, ternyata teman sebelahnya adalah kakak kelas cewek. Wajahnya kelihatan pintar, berkacamata seperti pemikir.

Beberapa menit berlalu, kakak kelas yang duduk di samping Deka masih sibuk dengan soal yang ia pegang. Sedangkan Deka sibuk celingukan, barangkali ada yang nganggur lalu bertanya Deka kurang nomor berapa. Sayangnya hanya ekspektasi, yang ada semua sibuk bertukar jawaban. Deka sendiri diapit orang-orang pintar yang anti nyontek-nyontek club. Kemudian ia memberanikan diri menepuk bahu kakak kelas di sebelahnya.

“Kak, ini jawabannya apa ya?” Tanya Deka.

“Aduh, Dek, aku nggak tau. Itu pelajaran jaman kapan, tanya temenmu coba.” Jawab si kakel-pemikir-pelupa-pelajaran-jaman-kapan.

“Oh yaudah, makasih Kak,”

Walaupun tidak mendapat jawaban yang ia butuhkan, tetap saja Deka berterimakasih. Biar terlihat santun, paling tidak ia sempat bersopan santun sebelum ajal menjemputnya. Deka serasa mau mati, ini 40 soal Deka baru bisa menjawab 3. Itupun mengandalkan penalaran, padahal nalar Deka asal-asalan.

Insane #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang