"... Dazen Kemala Triana dari XII IPS 4." Seru Bu Afah.Gemuruh tepuk tangan riuh terdengar di lapangan upacara SMA 28. Deka maju ke depan, bergabung bersama anak-anak lain yang juga dipanggil ke depan. Beberapa wajah dikenalinya, namun sebagian tidak ia kenali. Mereka yang maju ke depan ini adalah siswa-siswi yang membolos saat ada sosialisasi belajar kemarin.
"Teman-teman yang berada di depan kalian ini adalah siswa-siswi yang sudah merasa pintar. Bagi kelas X dan XI, kakak-kakak kalian ini jangan dijadikan contoh. Kelas XII yang lain, tolong doakan mereka agar segera bertaubat." Ucap Bu Afah terdengar sinis namun mengundang tawa anak-anak rajin.
Deka mengangkat dagunya, dilihatnya wajah-wajah di hadapannya. Beberapa terlihat masam, namun ada pula yang justru mendukung perbuatan mereka. Matanya bertemu dengan sepasang manik tajam milik Hima. Belum pernah ia lihat Hima semarah itu, Deka mengurungkan pandangannya. Cowok itu diam-diam bisa mengerikan juga, tatapannya seakan mengintimidasi Deka bahkan sebelum ia bersuara.
"Oke, semuanya boleh bubar kecuali barisan pelajar pintar ini." Ucap Bu Afah.
Upacara selesai, Deka tahu serangan dari mulut bu Afah yang pedas sedang menantinya. Seperti biasa, guru-guru BK dan kesiswaan langsung berkumpul membentuk satu kubu pertahanan yang sulit diterjang. Mereka dibagi menjadi beberapa barisan, sesuai jumlah guru yang ada. Satu persatu akan ditanyai, sebelum berakhir dengan dimarahi. Tiba giliran Deka menghadap Bu Afah, suatu kesialan mendapat jatah wanita pedas yang satu ini.
"Deka lagi, Deka lagi. Udah bosan sama 28? Mau pindah atau gimana?" Tanya Bu Afah.
Deka bungkam, toh apa-apa yang keluar dari mulutnya pasti akan salah juga.
"Kamu itu sudah saya perhatikan sejak lama, makin hari bukannya lebih baik malah makin bobrok." Bu Afah masih belum puas mencerca.
"Maaf, Bu."
Sebatas itu saja yang bisa keluar dari mulut Deka. Berharap ia mendapat belas kasihan, atau paling tidak hanya tambahan poin yang sekiranya masih ringan.
"Saya sudah nyerah sama kamu. Nanti saya akan menghubungi orang tua kamu, agar mereka datang ke sekolah." Ucap Bu Afah lantas beralih mengurus siswa bermasalah lainnya.
Deka mengepalkan tangannya dengan kuat. Ia tidak berani bahkan hanya untuk membayangkan papahnya datang ke sekolah dengan cara yang tidak terhormat. Lalu sosok yang paling ia sayangi itu akan kecewa dengannya, dan menyesali cara ia mendidik putrinya itu. Tanpa terasa pertahanan Deka jebol, air matanya mengalir begitu saja. Cepat-cepat ia menyekanya, sambil melangkah ke kamar mandi.
BRUKK!
Tanpa sengaja tubuhnya menabrak seseorang. Dilihatnya sekilas sosok yang ia tabrak, Deka semakin ingin menjauh dari tempat itu. Disaat bahu keduanya sejajar, tangan Deka digenggam. Tangan itu terasa hangat dan bersahabat. Seperti malaikat-malaikat penolong yang sedang mengulurkan bantuan. Deka sontak menoleh ke arahnya. Entah apa yang Hima inginkan, namun sepertinya ia butuh bicara dengan Deka.
"Lo boleh kok bentak-bentak gue, atau nasihati gue sepuasnya." Ucap Deka sambil memejamkan mata, tidak berani menatap Hima.
"Tadi Bu Afah bilang apa?" Tanya Hima lembut sekali, jenis suara yang menenangkan siapapun yang mendengarnya.
Deka memberanikan diri membuka kedua matanya. Wajah tampan di depannya nampak setia menunggu jawaban dari dirinya. Biarpun tatapannya tegas, namun jelas sekali tidak ada dendam atau amarah di dalamnya. Hima jauh lebih jinak dibandingkan di tengah-tengah lapangan tadi. Siapa juga yang tahan memarahi kalau melihat wajah Deka yang sendu, ketimbang menghakimi Hima memilih melindungi atau paling tidak jadi teman berbagi.
"Katanya... papah gue mau dipanggil ke sekolah." Deka mengepalkan tangan membendung air matanya.
Hima membimbingnya untuk duduk di bangku panjang yang terletak di depan kelas X IPS 1. Ditepuknya bahu Deka dengan pelan, begitu sampai akhirnya Deka tak lagi dapat menahan air matanya. Sekuat apapun Deka, ia terlihat rapuh di mata Hima. Sejak awal Hima tahu, ada yang rumpang dari Deka. Sesuatu yang memaksanya untuk selalu terlihat kuat. Seakan ia hanya dibentuk untuk menjadi keras, tanpa sedikitpun pembelajaran tentang ada kalanya untuk lunak.
"Sori gue cengeng. Gue setakut itu kalau papah marah sama gue." Ucap Deka.
"Memangnya nyokap lo kemana?" Tanya Hima.
Pertanyaan itu sudah lama muncul di benak Hima. Sejak pertama kali Deka main ke rumahnya. Ia tidak mengenal keluarga Deka, sebaik Deka mengenal keluarga Hima. Ia hanya menduga, bahwa sikap Deka seperti sekarang disebabkan oleh kurangnya peran seorang ibu. Kali ini ia rasa momennya tepat, untuk mendapat jawaban dari pertanyaan yang mungkin sedikit sensitif bagi Deka. Setiap Hima ditimpa masalah, ia selalu mengadu pada umi. Tanpa merasa terbebani sama sekali, karena seorang ibu pasti menjadi penenang dan jalan keluar. Ia hampir tidak pernah merasa tertekan. Walaupun abahnya sedikit galak, umi akan jadi penengah yang meredakan emosi abahnya.
"Gue nggak tau dan nggak mau tau. Sejak kecil gue memang sama papah doang." Ucap Deka membenarkan dugaan Hima.
"Kalau gitu, di kartu keluarga ditulis apa dong?" Tanya Hima.
"Tauk dah. Nanti kan gue bakal bikin yang baru sama lo." Ucap Deka berubah cengengesan.
"Gila lo, lagi sedih tau-tau balik lagi gesreknya." Ucap Hima.
"Gimana gue mau sedih lama-lama, kalo lo bawaannya nyenengin gue mulu." Ucap Deka.
"Serah lo dah, gue balik ke kelas dulu." Pamit Hima.
Hima bangkit dan bergegas menuju kelasnya. Deka masih dalam posisi duduknya, sambil memperhatikan punggung Hima yang perlahan menjauh. Sial, dia tetap mencintai cowok itu meskipun hanya memandanginya dari belakang. Sepertinya tampang tak lagi menjadi satu-satunya alasan bagi Deka untuk naksir kepada Hima. Sifat Hima turut serta memikat hatinya.
***
Tok tok tok!"Masuk!" Seru seseorang di dalam ruangan.
Melihat wajah si tamu, belum-belum orang itu sudah kesal duluan. Kedatangan tamu itu tak lain hanya akan memancing emosinya. Ia duduk di depannya, dengan wajah menunduk menyesal tidak seperti biasanya. Ada sedikit rasa iba, karena ekspresi tamunya itu tampak tulus. Tamu itu adalah Deka, datang dengan baik-baik untuk meminta maaf. Biasanya ia akan berpura-pura menyesal selepas membuat masalah. Hari ini berbeda, semuanya seakan tanpa kepalsuan.
"Ratu udah kesini, minta maaf seperti biasa. Lalu berjanji nggak akan mengulangi lagi. Kamu juga mau begitu?" Tanya Bu Afah yang sepertinya sudah hafal karakter siswanya.
"Ibu nggak boleh dong memukul rata kayak gitu, Ratu ya Ratu. Saya Deka, jangan disama-samakan." Ucap Deka terdengar kesal.
"Halah, saya itu sudah hafal sama murid-murid modelan kamu gini." Ucap Bu Afah.
"Iya, saya memang mau minta maaf. Saya nggak keberatan kalau ibu mau menghukum saya, tapi nggak dengan cara memanggil orang tua saya." Nada bicara Deka merendah.
"Gini lo, kamu itu sudah lebih dari tiga kali melanggar peraturan. Bahkan kalau ditambah pelanggaran-pelanggaran kecil, entah sudah terhitung berapa. Jadi saya sudah memutuskan untuk memanggil orang tua kamu." Jelasnya.
"Tolong, Bu. Saya nggak mau ada masalah di rumah, nanti fokus saya di sekolah bakal terganggu." Sahut Deka.
Bu Afah mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Ia nampak menimang-nimang ucapan Deka barusan. Salah-salah ia akan dikelabui muridnya, namun ada sedikit rasa iba setelah melihat tatapan Deka yang memohon dengan sangat. Ia takut, kalau keputusannya akan membuat muridnya merasa tertekan. Ia memang guru yang tegas, banyak dibenci murid-murid bandel, namun naluri keibuannya masih ada.
"Oke, saya masih memberi kamu kesempatan untuk berubah. Ingat, kamu sudah kelas XII. Kalau kelakuan kamu masih seperti ini, saya benar-benar akan panggil orang tua kamu ke sini. Keputusan saya hari ini, jangan kamu salah gunakan untuk tetap melanggar aturan."
"Siap! Makasih ya, Bu. Saya pamit balik ke kelas." Ucap Deka dengan wajah sumringah.
***Jangan lupa tekan ⭐ dibawah sini 👇
KAMU SEDANG MEMBACA
Insane #Wattys2019
Teen Fiction[tahap revisi] "Pas banget! Gue lagi nyari jodoh, eh malah ketemu, lo." -Deka "Gila lo." -Hima