18.

174 20 10
                                    

"Bu, biar aku yang pergi belanja" ujar Hinata lesu dengan cara berjalan masih terpincang-pincang karena luka kakinya kemarin.

Tangan putih ramping itu terulur hendak membuka pintu apatonya, tapi alangkah terkejutnya mendapati Naruto yang jatuh terjungkal setelah ia membuka pintu "Hai ! Selamat pagi!" sapa Naruto segera bangkit dan tak lupa senyum cerah ia pamerkan untuk sang gadis.

"Kau? buat apa kau kemari? bukankah kau tak mengenalku?"

"Aku kemari ingin mengenalmu sekali lagi, aku ingin meminta maaf. Boleh aku masuk?" tanya Naruto.

"Tidak! Aku tak terbiasa menerima orang asing masuk ke rumahku!" Kata Hinata sambil mendorong tubuh besar Naruto keluar dari apatonya. "Mengapa aku harus memberimu kesempatan lagi?" Hinata tetap berusaha medorong Naruto.

"Aku kemarin tak bisa menahan diriku untuk mengoperasi hatimu!" Naruto mencekal halus tangan ramping Hinata, Ia tatap mata rembulan indah itu dan berusaha membujuk Hinata agar mendengarkannya.

"Mengoperasi? kau bukan dokter! Lagipula kenapa dengan hatiku?"  Tanya Hinata heran.

"Kau tau? ada tumor beracun yang sangat ganas sedang menggrogoti hatimu! Aku tak bisa melihatmu menderita! Ya Tuhan kakimu kenapa?" Naruto panik melihat telapak kaki Hinata yang terbalut perban, pemuda itu segera menuntun Hinata agar duduk di sofa usang itu.

"Maaf! seharusnya aku tak meninggalkanmu di tengah jalan semalam, maaf! Seharusnya aku menjagamu agar kau tak terluka!" ujar Naruto menyesal.

"Jadi semalam kau ingin mengoperasiku, kalau begitu untuk apa sekarang kau datang lagi?"

"Untuk mengoleskan obat untukmu, agar lukamu cepat sembuh. Dan kau bisa cepat sadar dan tersenyum untukku!" Kata Naruto masih memperhatikan kaki Hinata.

"Aku? memiliki tumor? Aku tak membutuhkanmu untuk mengoleskan obat di hatiku! Jika kau kecanduan mengoperasi dan mengoleskan obat cari orang lain saja jangan mencariku!" suara Hinata mulai bergetar, bahkan ada beberapa air mata lolos dari kelopak matanya. Tapi cepat-cepat ia hapus karena tak ingin terlihat rapuh oleh Naruto.

"Hinata–! Siapa disana? kenapa pagi-pagi sudah ribut?" teriak Hikari dari dalam dapur.

Ibu paruh baya itu pun keluar dari dapur untuk melihat siapa yang datang, tapi begitu ia melihat Naruto bersama putrinya, Hikari mengerti, mereka membutuhkan waktu untuk mengerti satu sama lain. Wanita itu segera meminta tas belanja yang ada di tangan Hinata "Kalian bicaralah baik-baik! Hinata, biar Ibu yang pergi belanja lagi pula kakimu belum sembuh benar kan? Naruto-san tolong jaga dia! Aku pergi dulu" ujar Hikari segera pergi.

Hinata bangkit hendak mencegah Ibunya pergi, tapi tangan Naruto menahannya, Naruto kembali menuntun Hinata dengan sedikit paksaan agar mau duduk lagi.

"Kau tak berhak menghentikanku!" Hinata mulai ketus.

"Aku tak berhak melarangmu, aku juga tak berhak mengobatimu, selama ini aku orang yang tak mengukur kemampuan sendiri. Sejak bertemu denganmu di malam hujan itu aku hanya ingin selalu ada disisimu. Jika aku bisa mengurangi sedikit cintaku padamu, aku tak perlu disini, berdiri menunggumu di depan pintu sampai kau bangun dan merendahkan diriku sendiri agar bisa melihat wajahmu!"

"Aku kagum dengan caramu meminta maaf padaku! Kau selalu membuat aku kagum dengan semua caramu untukku! Tapi kalaupun dalam hatiku ada luka  tak akan ada obat yang menyembuhkan luka yang abadi di hatiku" Hinata menutup muka sedihnya dengan kedua telapak tangannya.

"Aku heran! Kenapa kau ingin hidup sekeras ini? Mengapa ingin hidup dalam kebencian? kenapa tak memilih hidup dalam cinta? Aku bisa melihat antara benci dan cinta dari matamu! tapi mengapa kau memilih hidup dalam kepedihan? Apa kau adil dengan hidupmu sendiri?" tanya Naruto heran.

Rain DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang