Vote yang banyak!!!
"BANGUN!"
TAK!
Jantungku rasanya tertarik. Mataku memendar berusaha fokus melihat apa yang terjadi. Orang pertama yang kulihat adalah Gery sedang marah dan siap memukulku lagi.
"Ampun! Bang kamu kenapa!?"
"Ger lo apaan sih. Jangan kejamlah sama adik sendiri," timpal Ian.
Napasnya terengah-engah. "Saya gak marah kok. Ini sudah jam 9 dan saya lapar. Buatkan sarapan dong."
Rasa takutku langsung menghilang. Dasar. Aku seharusnya tahu tipe-tipe pria sangar dan urakan seperti Gery mana bisa memasak. Bahkan aku sangsi dia bisa menanak nasi atau goreng telur dadar. Meskipun aku tak jago memasak, tapi Abah dan Umi selalu mengajariku hal kubutuhkan untuk menjadi dewasa.
"Iya, Abang Gery." Itu bernada mengejek tapi sialnya aku malah tersipu malu. Abang? Lagi, wajahku rasanya memanas. Ditambah sejak kejadian tadi malam aku tak berani menatap matanya. Aroma nikmat itu masih bisa kurasakan dengan jelas. Aroma kelelakian yang mencandu. Yang menusuk dan pekat. Aku ingin mencicipinya, lagi.
"Lu beruntung banget bro ketemu dia."
"Iya dong."
"Coba gue yang ada di sini, gue rela deh jadi Abangnya. Biar kehidupan gue ngekos di kota gak menderita kek sekarang."
"Hush gue gak setega itulah manfaatin dia. Kalau dia ada butuh gue siap jabanin lah elo? Yang ada dia takut sama lo."
"Tapi—"
"Kagak ada! Sekali lu sakiti Adik gue, tangan gue yang bakal bikin mulut lo sobek. Gue serius, An. Kalau temen-temen lu gangguin dia di kampus gue gak akan segan."
"Halah iya-iya gitu aja dibawa serius."
"Karena tahu kebiasaan busuk lu dan temen-temen lu!"
Aku mendengar percakapan itu. Rasa haru menyebar ke dalam tubuhku. Sepertinya, batas tertinggi antara aku dan Gery adalah adik dan kakak. Harusnya aku senang meskipun sekarang aku memang senang. Tapi entah kenapa sudut terdalam di hatiku merasa sedih.
"Nasi gorengnya siap!"
"Walah kayaknya enak, Gi!"
"Pasti enak. Silakan dimakan."
Nasi yang kumasak adalah bekal yang dimasukkan Umi ke dalam tas jadi aku tak perlu repot-repot menanak nasi terlebih dahulu. Kami duduk membentuk segitiga dan saling berhadapan.
"Walah enak. Gak sia-sia tubuhmu cebol, Irgi," kata Gery. "Ternyata berguna juga untuk masak."
"Gak ada hubungannya!"
"Hehe ngomong-ngomong ospek kampus harus kuat ya. Ditambah nanti ospek jurusan yang memakan waktu berbulan-bulan."
Aku nyengir. "Kan ada kamu, Bang."
"Iya ada dan saya yang akan nge-bully kalian para kecebong hanyut."
"Lah jangan dong. Jangan yang ribet-ribet ya."
"Cuna ospek kampusnya kok," sahut Ian. "Ospek jurusan sesuai jurusan masing-masing. Si Gery kan masuk seni musik jadi—"
"Ngomong-ngomong kamu asli orang Sunda bukan?" Mulut Ian sedikit menganga karena Gery mengabaikannya.
"Dibilang asli tidak, Bang. Aku lahir di Aceh tapi sejak umurku 1 tahun aku pindah dan menetap di Bandung. Umi ngikut Abi ke sini."
"Walah orang Aceh ternyata. Pantas saja wajahmu sedikit beda dengan orang Sunda di sini," sahut Gery. "Tambah dong." Aku melongo. Porsi yang kuberikan tadi menggunung dan aku yakin sekali porsinya bisa membuat perutku meledak.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRGI [MxM] [Tamat]
RomanceIni cerita gue tentang asam manisnya menyukai pria straight. Ya, tentang gue yang secara tak sengaja sharing kamar karena preman itu mengeluh biaya kosnya mahal sekali. Dialah Gery, pejantan straight yang sejujurnya telah membuat gue nyaris bunuh di...