Delapan

22.5K 1.2K 70
                                    

Banyak banget typo. Moga kalian paham.

Perlahan-lahan aku melihat cahaya. Lampu neon? Di mana ini? Aku bingung dan juga kesakitan. Ditambah dengan suara teriakan yang bikin kuping budeg.

"Aaaaaarghh!"

"Pukul terus pukul!"

"Aaaarghhh!"

"BAGUS! TERUS TERUS!"

"AAAAARGHHHHHH!"

Pas kesadaranku pulih, aku melongo karena banya pria yang nonjok samsak. Mereka semua telanjang dada dan hanya memakai boxer pendek. Tempat apa ini? Aku terus berpikir dan berpikir hingga akhirnya aku ingat aku ditonjok oleh cowok sialan yang wajarnya sangar kemarin. Tunggu. Kemarin? Benar kemarin! Kalau nggak salah kemarin itu sore tapi dari cahayanya sekarang hari sudah pagi! Gawat gawat gawat! Gery pasti nyariin aku.

"Dia sudah sadar woi!" teriak salah satu dari mereka. Mau nggak mau, mereka berhenti nontok tuh samsak kemudian mendatangiku. "Bos si homo udah sadar!" Nah itu dia bos yang udah nonjok aku. Ingin rasanya aku nonjok balik. Sewaktu SMA aku memang ikutan ekskul karate dan sudah mendapatkan medali nasional. Ukuran tubuh bukanlah alasan seorang pria untuk tampil lemah, maka pas SMA dulu aku daftar karate sama sohibku.

"Lu pingsan apa molor, hah?"

"Jam berapa sekarang?"

"12."

"Aku harus pulang," kataku panik.

"Haha pulang ke mana, cah?" Cah artinya bocah. "Mau ampar pindang sama sama cowok, hah!?"

"Hahahahaha. Mau sepong sosis dia."

"Hiiii gue baru tahu ada homo sekecil ini."

Wajahku memerah marah. Selama bertahun-tahun aku merahasiakan identitas homoseksualku tapi hari ini rahasia itu terbongkar sudah. Tapi aku harus sabar. Emakku di rumah selalu mengajarku untuk jadi pria sabar. "Kasih dia ketek lu, Van."

"Nih hahaha. Sini, cah haha." Si Evan nyeletuk, "Dia udah kenyang sepong bapaknya jadi-"

"BANGSAT!" teriakku keras. Kutendang mukanya sampai terjungkal ke belakang. Sebelum cowok bernama Evan sialan itu bangkit aku menindih tubuhnya lalu mengunci pergerakan tangannya. Aku pukul wajahnya bertubi-tubi karena emosi. Aku memang belum pernah berkelahi. Perkelahianku hanya sebatas di kotak arena. Lalu ternyata beginilah rasanya menonjok orang lain sambil dikuasi emosi. Aku berang karena dia berkata yang tidak-tidak soal bapakku. Bisa kurasakan teman-teman Evan mencoba mendangku namun nggak jadi karena ada orang yang menahan. Aku nggak tahu siapa orang itu tapi aku bersyukur karena itu artinya dia membiarkanku untuk memukul Evan.

BUK!

Aku terpelanting ke kanan. Kaki bebas Evan yang melakukannya. Dengan cepat kilat aku bangkit dan menjaga jarak. Kupasang kuda-kuda diajari pelatihku dulu. Bos mereka tersenyum memandangku. Evan juga memasang kuda-kuda. Aku nggak tahu jenis bela diri apa yang dikuasainya, tapi aku nggak akan kalah sama orang yang bisa ngebacot tanpa disaring terlebih dahulu.

"Bocah brengsek!" Evan maju. Kakinya melayang mencoba menyerangku dari arah kanan. Kuhindari tendangannya lalu fokus menyerang titik vital kakinya. Evan pun mengerang. Dia membantingkan tubuhnya lalu menarik kakiku dengan tangannya. Sontak aku bergedebukan di lantai. Sakit sekali karena kepalaku terbentur keras. Jika saja aku lebih mementingkan memegang tanganku, aku yakin aku bakal kalah karena Evan bisa saja langsung mengunci tubuhku. Untuk itulah daripada menahan rasa sakitnya, aku lebih memilih mengacungkan kakiku lalu menghentakannya ke bawah. Evan semakin mengerang. Aku berhasil mengenai titik vital kakinya. Hal itu membuat Evan berteriak-teriak kayak orang gila. Langsung kutindih Evan dari atas lalu kukunci lehernya.

IRGI [MxM] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang