Dua Puluh Lima

18.7K 1.3K 286
                                    

Ada scene dewasa. Awas yang belum cukup umur dilarang keras membaca! Meski ada adegan dewasa, saya nggak jago bikin hal kayak gitu karena belum pernah ngelakuin. So, maaf. Lagian ini bukan cerita sex, jadi jangan harap adegannya sangat panas. Kalo pengen baca cerita vulgar, noh cari aja punya orang lain, banyak kok yang mengedepankan sex :p intinya saya bukan ahlinya.

"Cil, e-elo lagi ngapain?" Suara Danar terdengar sengau dan menyicit. Kurasa ini pengalaman dia dipuaskan karena sebelum-sebelumnya dia yang selalu memuaskan. Mulutku kini sibuk bergerilya di area pantat Danar. Aromanya jantan, itu yang aku suka. "Aaaaah Cil enak Cil."

Sebelum masuk ke sesi penetrasi, lubangnya harus kubuat licin terlebih dahulu.

Sempat kulihat wajah Danar sangat memerah. Dia tutup matanya menggunakan punggung tangan, meski kadang penasaran melihat apa yang kulakukan dengan pantatnya.

"Bang, siap?"

"Eh eh eh lo ma-mau ngapain?"

"Memperawani elo."

"Tapi kan udah."

"Itu elonya nggak sadar."

"Sama aja!"

"Gue mau jadi orang pertama yang lo kasih izin, bang," kataku sedikit merajuk. "Itu bakal jadi kehormatan tersendiri buat gue kalo lo ngizinin gue buat ...," kataku menggantung sambil mengarahkan penisku ke lubang anusnya. Kepalanya sudah masuk diiringi erangan pelan Danar. "buat n*****t elo."

Danar diam saja yang artinya mengizinkanku.

"Cil ...."

Cambangnya aku belai dengan tanganku. Permukaanya kasar menggelitik. Seksi sekali. "Gue boleh manggil lo Gery, bang? Biar kayak gue lagi berhubungan intim sama dia."

"Gue tonjok muka lo sekarang juga."

"Hahaha lo siap?" Dia ngangguk sambil membuka mulutnya. Nampaknya dia tahu apa yang kuinginkan. Kucium Danar lalu kumasukan lidahku ke dalam mulutnya. Di saat yang bersamaan, kudorong pinggulku semakin masuk ke dalam. Danar mengerang kesakitan, bahkan tangannya sedikit mendorongku ke belakang.

"Sakit, Cil."

Mendengar kata sakit, tanganku langsung meraba dadanya kemudian memelintir putingnya. Danar mengerang, mulutnya semakin terbuka dan kugunakan kesempatan itu untuk menyapu semua permukaan mulutnya. Aromanya seperti aroma kayu. Enak dan bikin candu.

Semakin kudorong pinggulku, akhirnya semua penisku masuk ke dalam anusnya. "Bang udah ma—"

"Aaahh teken terus, Cil. U-udah mulai enak." Aku terernyum lebar.

"Ini baru permulaan bang Danar sayang. Yang lebih enak lagi bakal lo dapetin, tapi itu nanti," ucapku sambil kembali mencium bibirnya. Kudiamkan dulu penisku di dalam anusnya supaya ruang di dalam sana relaks dan menyesuaikan.

"E-enak, Cil. Ayo tunggu apa lagi," ucapnya kepayahan. Kucoba kumundurkan pinggulku lalu kumajukan lagi dengan sekali hentakan. Danar mengerang hebat. "AAAAAAAHH!" Dia menatapku tak percaya. "Cil apa yang lo lakuin sama pantat gue? E-enak, Cil." Kurasa karena penisku besar dan panjang, benda liat itu mampu menyentuh prostat Danar dan membuatnya kelojotan keenakan.

Kembali kujilati dada, leher, lanjut ke telinga Danar sambil meremas-remas dada bidangnya. Wajah Danar terlihat memelas, nikmat sekaligus bingung. Kurasa hal ini pengalaman baru baginya dan pengalaman itu kurasa—khususnya bagi Danar—merupakan pengalaman ternikmat ketika semua tubuhnya benar-benar dipuaskan.

"Bang, bau lo nikmat, bang. Maskulin, jantan, apalagi di bagian leher lo. Gue suka."

"Gu-gue mohon, ayo Cil tunggu apa lagi." Senyumku semakin lebar dan lebar. Sebenarnya top itu posisi yang kurang menguntungkan karena harus membuat pasangannya puas di atas ranjang—hampir di semua tubuh. Bot mendapat begitu banyak perlakuan mulai dari tubuh bagian bawah hingga atas. Sementara top paling hanya kenikmatan penis dan mulut saja. Tapi bagiku, melihat lawan mainku bertekuk lutut dan memohon minta dipuaskan, itu jauh lebih nikmat dibandingkan semuanya. "Cepetan siksa gue, Cil." Apa!? Danar masokis?

IRGI [MxM] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang