Delapan Belas

19.1K 1.3K 154
                                        

Saya masih bt. Vote aja, kalo banyak mungkin saya semangat nulisnya.

"Di mana rumah lo?"

"Itu. Yang terbuat dari kayu."

Akhirnya sampai di rumahku. Rumah yang sangat luas, namun justru terkesan hening dan sepi.

"Pada ke mana? Kok kayaknya gak ada orang?"

"Emak sama Abah kayaknya lagi di kebun, si teteh udah nikah terus dibawa sama suaminya ke kampung sebelah sementara kakak gue biasanya ada di kamarnya. Yuk masuk, bang."

Rumahku bergaya tradisional. Halaman depan dan halaman belakangnya cukup luas. Bagian dalamnya jelas sangat luas, mahalan kelihatan mubazir karena banyak space kosong. Lantainya terbuat dari kayu, dindingnya pakai semen—meski sebagian pake kayu—yang dicat warna coklat. Di setiap dinding banyak ornamen tradisional, lukisan bahkan kerajinan buatan kakak-kakakku.

"Gila rumah lo keren bener, Gi. Beda jauh sama rumah gue."

"Haha biasa aja, kok."

Aku memang anak orang kaya. Gak kaya amat sebenarnya, tapi keluargaku cukup terpandang di kampung ini. Semua kakak-kakakku  cuma tamat SMA, mereka gak lanjut kuliah karena dilarang abah. Waktu itu aku maksa dan bilang aku mampu lulus universitas negeri, akhirnya abah mengizinkan meski dengan berat hati.

"Duduk aja dulu, bang. Gue mau ngambil dulu minum." Gery duduk di ruang tengah sambil menyimpan tas yang dia bawa di bawah. Sekembalinya aku dari dapur, aku melihat kakakku sedang ngobrol dengan Gery. Jujur saja aku tidak terlalu akrab dengan kakak laki-lakiku. Dia satu-satunya orang yang tidak mengantarku bonyongan ke kosan baruku.

"Halo, kak."

"Temen kampus kamu, Gi?"

"Iya."

Kakakku mengangguk dua kali lalu beranjak pergi menuju kamarnya. "Sebaiknya kamu samperin dulu abahmu kalau kamu gak mau dia ngamuk karena pulang gak bilang-bilang." Bulu kudukku langsung meremang. Abah orangnya sangat keras. Terlebih di rumah ini aku satu-satunya anak paling bandel yang selalu melanggar perintah abah.

"Bang tasnya simpen di kamar aja, yuk ikut gue."

Beruntungnya meski aku ngekos, kamarku tetap dijaga oleh ibuku. Malu juga karena di kamarku banyak poster gengster yang ganteng-ganteng. Tapi kurasa Gery gak akan mikir macem-macem. Poster geng bagi cowok itu wajar, bukan?

"Kita pergi samperin abah lo?" tanya Gery.

"Iya, bang. Gak masalah kan?"

"Nyantai aja. Malah lebih bagus."

Tidak semua orang memang, tapi ketika Gery keluar rumah, hampir semua orang melihat ke arahnya. Tampilan urakan khas kota yang dipakai Gery pas sekali melekat di tubuhnya. Baju dan celananya berwarna hitam. Ada sedikit robekan di bagian lututnya, tapi justru menambah kesan cool dan keren.

Sialnya, kembang desa di kampung ini juga melihat ke arah Gery! Ayu namanya. Tak hanya nama, paras dan tingkahnya pun sama-sama ayu. Dia sedang memilah-milah sayuran di atas nampan, mungkin untuk dia masak aku gak tahu. Lebih sialnya lagi, Gery malah kesemsem!

"Duh siapa Gi itu? Cantik! Abang langsung horny nih liatnya."

Kuinjak kaki Gery. Selain kesal karena ucapannya, aku juga kesal karena aku langsung dikalahkan sama itu perempuan hanya dalam kurun waktu beberapa detik saja. "Dia perempuan baik-baik! Jangan abang rusak, atau gue hajar elo, bang." Nah bagian itu aku tidak beralasan. Ayu memang baik banget, belum pernah pacaran bahkan selalu menghindari semua laki-laki yang berusaha mendekatinya. Tapi anehnya, kenapa Ayu malah bangkit kemudian menghampiriku?

IRGI [MxM] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang