Empat : Rapat

27.1K 1.5K 106
                                        

Vote yang buaaanyaaak lol.

Kami semua kumpul di ruangan tertutup. Peserta MOS baris sesuai jurusan. Karena aku satu jurusan dengan Satria, jadi terpaksa aku berada di depannya. Sejak dia tahu aku satu kamar dengan Gery, Satria gencar mendekatiku. Aku tidak menyalahkan justru sedikit salut karena dia mampu berjuang mengejar cintanya. Lah aku? Memang aku suka pada Gery. Tapi kan aku nggak sebebas menunjukkan rasa sukaku.

"Jangan hari ini ya," kataku pada Sat.

"Kenapa? Bukankah barang bawaan mulai dibawa besok?" tanyanya.

Bukannya aku pelit. Tapi rencananya Gery akan membantuku menyelesaikan teka-teki dan membuatnya. Kalau Satria ikut, pasti lama! Jadi maaf saja deh, Sat. Lagian kamu nggak bakal mendapatkan dia. Gery kan tipe pria straight jantan yang orientasinya tidak diragukan lagi 100 % straight.

Aku melihat Gery di depan sana. Beberapa maba menatap ke arahnya sambil berbisik-bisik. Gery memang keren dah! Gayanya jantan abis. Bewok di rahangnya menambah kejantanan yang dia miliki. Selain Gery, ada juga Bimo. Kata Lesti—perempuan di sampingku—lebih ganteng Bimo. Well, memang ganteng sih. Bimo itu tipikal cowok mulus, bersih, manis, pokoknya kontradiktif dengan Gery. Tubuhnya tinggi berisi meski tidak se-muscle Gery. Namun menurutku, Gery itu punya daya tarik yang nggak dimiliki Bimo. Misalnya senyum dan pembawaan sikapnya.

Jam 2 kami keluar dari gedung. Ternyara pembukaan MOS berlangsung cukup lama.

"Argh!" pekikku sedikit keras. Saat kepalaku menengadah ke atas, ingin rasanya aku memutar bola mata. Ya, kejadian seperti di TV kualami saat ini. Aku menabrak Bimo, sang bintang kampus. Dia menjatuhkan berkas di tangannya. Namun bedanya, dengan tidak tahu diri aku hanya menatap Bimo dan tidak membantu dia mengambil kertas.

"Punten, Kang. Nggak sengaja."

Dia mengangguk lalu membetulkan kacamatanya. "Calon maba ya?"

"Muhun, Kang."

Bimo tidak menjawab kalimatku karena Gery datang kemudian merangkul bahuku. Mata mereka berdua lamat-lamat mengeras. Suasana berubah mencekam dan hal yang terjadi berikutnya di luar dugaanku. "Eh ada jablai," kata Gery sarkas.

Bimo menggeram sembari mengeratkan tas di punggungnya. "Eh ada bintang nggak laku."

Gery berjalan menghadap Bimo. Mata mereka bersitatap menakutkan. Aku panik. Tangan Bimo mengepal seakan hendak melakukan bogeman mentah. "Abang stop! Permisi, Kang Bimo. Yuk cabut Bang jangan bikin rusuh!"

"Tapi, Dek. Dia selalu bikin masalah sama Abang."

Dek? Nggak salah tuh? Rasanya senang sekali diperlakukan sebagai seorang Adik. Meskipun sejujurnya, aku masih berharap diperlakukan sebagai kekasih. Tapi, karena itu nggak mungkin, sepertinya aku akan menautkan hatiku pada Bimo.

"Sudah ah pulang. Abang janji mau bantuin Irgi nyelesain tugas yang harus dibawa besok."

"Jablai jangan sok deh."

"Bang sudah!"

Aku menatap Bimo kemudian tersenyum. "Maaf, Kang. Kami pamit."

Gery bersungut-sungut sepanjang jalan. "Orang kayak dia kasarin aja, Dek. Nggak usah sopan segala."

"Memang Abang punya masalah apa sama dia?"

"Eh Abang nggak bawa duit. Minjem dulu buat beli rokok ya." Kentara sekali Gery nggak ingin membahas kenapa mereka musuhan.

Rokok Gery memang habis. Kulihat wajah garangnya. Bibirnya sedikit menghitam. Kuputuskan untuk membeli satu batang saja. "Nih," kataku. Gery kecewa. "Abang boleh bilang Irgi kolot atau sok ngatur, tapi Irgi nggak suka Abang ngerokok. Itu bibir sampe hitam gitu. Mending ngunyah permen," lanjutku.

IRGI [MxM] [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang